Bagi diaspora Muslim di Inggris, mengajari anak-anak mengaji membutuhkan strategi tersendiri mengingat komunitas Muslim yang kecil dan aksen Inggris yang khusus.


Kartini, Muslimah Indonesia yang bermukim di London dan telah lebih dari delapan tahun menjadi pengajar membaca Al Quran untuk anak-anak dan dewasa, menuturkan awal dari keputusannya untuk mengajar yang bermula dari kebetulan.

“Semua itu berawal dari lebih delapan tahun lalu, ketika acara komunitas Indonesia di Inggris. Waktu itu, acaranya tahlilan, atau kirim doa kepada saudara salah satu kawan yang meninggal di Indonesia. Setelah itu, saya mendengar jamaah yang membaca Al Quran itu sering salah. Nah, ketika itu, saya beranikan berdiri, kemudian saya bilang saya bukan punya kelebihan apa-apa, saya juga masih belajar,” ungkap Kartini kepada ANTARA London, Selasa (4/5).

Ia mengingat pada saat itu ada enam orang yang langsung tertarik dan menghubunginya, seorang dewasa dan lima anak Indonesia. Ia pun mengajar mereka membaca Al Quran dengan metode IQRA di rumahnya selama dua tahun.

Tak lama kemudian, Kartini diminta untuk mengajar membaca Al Quran sebuah keluarga konsulat Brunei Darusalam di Inggris. Ia mengajar keluarga itu selama sekitar satu tahun dari dasar pengenalan huruf hingga selesai atau khatam Al Quran.

Dari perkenalan dengan satu keluarga asal Brunei ini, Kartini kemudian dikenal luas oleh orang-orang Brunei di London. Ia mengisahkan, ketika khataman Al Quran dengan keluarga Brunei, banyak tamu hadir bahkan juga istri dari Duta Besar Brunei Darussalam untuk Inggris Raya pada waktu itu.

Setiap pekannya, Kartini, yang dikenal sebagai qari atau pembaca ayat Al Quran yang bersuara merdu dan sering menjadi qari dalam agenda-agenda pengajian yang diselenggarakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, mengalokasikan waktu sekitar lima jam untuk mengajar.

Selepas mengajar Al Quran keluarga Brunei, Kartini kemudian berpikir untuk fokus mengajar anak-anak orang Indonesia yang bermukim di Inggris sekalipun ia juga pernah mengajar orang Pakistan dan Inggris.

“Setelah khatam itu, saya berpikiran, kenapa saya mengajar orang lain, mengapa tidak mengajar orang Indonesia saja? Akhirnya ada orang Indonesia menghubungi saya, dan kemudian saya mengajar sekitar enam sampai tujuh anak dan berlangsung sampai delapan tahun. Waktu itu, yang khatam Al Quran hanya satu orang, karena memang punya kendala masing-masing. Ada yang baru juz 5 sudah selesai, karena terkendala tempat yang jauh, dan sebagainya.”

Al Quran terdiri dari 30 juz atau bagian.

Kartini yang berasal dari Pati, Jawa Tengah ini, biasanya mengajar dengan cara langsung dengan minimal satu pertemuan berlangsung selama satu jam.

“Nah, ketika mengajar mengaji, saya sempatkan juga mengajar shalat kepada mereka. Termasuk gerakan dan bacaan semua, juga doa-doa pendek, semisal ayat Kursi, Alhamdulillah mereka sekarang sudah bisa semua," katanya.

Lain lagi kisah Abu Yusuf, Muslim asal Pattani, Thailand Selatan, yang bermukim di Inggris. Abu Yusuf merupakan mahasiswa doktoral bidang kesehatan, ia bekerja di sebuah rumah sakit di Thailand Selatan.

“Tantangan terbesar mengajari anak mengaji di Inggris ini kan memang komunitasnya tidak banyak, jadi perlu fokus agar anak-anak merasa diperhatikan dan juga senang. Beda kalau di Thailand, di Indonesia atau Malaysia. Teman anak-anak yang mengaji banyak, baik di rumah maupun di surau, jadi mereka senang,” kata Abu yang sedang melakukan riset tentang manfaat madu untuk medis modern.

Abu mengungkapkan, kendala lain mengajar mengaji anak-anak yang terlahir di Inggris adalah mengenai makhraj atau bunyi huruf.

“Jadi kalau anak-anak Inggris itu kan lidahnya agak beda, terutama kalau kita tekankan makharijal huruf, atau makhraj. Itu kan agak susah untuk anak-anak Inggris, semisal huruf ‘ain, dhot, syin, dan beberapa huruf lain. Tapi ya saya ajari pelan-pelan, tidak seratus persen sesuai, yang penting mereka nyaman dulu mengaji Al Quran,” katanya.

Sebagaimana Abu Yusuf, Suwondo juga menghadapi tantangan yang sama ketika mengajar mengaji anak-anaknya.

“Kalau di Inggris ini, guru mengaji tidak banyak, jadi sebagai orang tua saya harus disiplin mengajari anak mengaji. Kalau tidak, ya mereka tidak ada yang mengajari,” kata Suwondo, mahasiswa master di University of Southampton.

Pria kelahiran Lamongan ini menegaskan bahwa dirinya meluangkan waktu khusus tiap hari untuk mengajar anak mengaji.

“Jadi saya luangkan waktu khusus tiap hari, agar anak-anak mau dan disiplin. Memang agak berat dan orang tuanya harus bisa mengaji dulu sebelum mengajar anak-anak,” katanya.

Lebih lanjut, Suwondo yang juga pegawai di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI itu mengungkapkan memang ada beberapa pengajian Al Quran untuk anak-anak di Southampton, kota tempat tinggalnya saat ini.

“Ada beberapa pengajian untuk anak-anak di kota ini, yakni di masjid Abu Bakar, di masjid Madinah kawasan Saint Mary, juga di masjid Basher Ahmad di Portswood. Tapi memang kalau tiap hari ke masjid itu, anak-anak capek juga karena seharian juga sekolah dari pagi hingga sore,” ungkapnya.

Badriyah, seorang Muslimah Indonesia di Inggris menjelaskan betapa harus ada trik khusus untuk mengajari anak-anak mengaji.

“Ya memang di Inggris ini kan kulturnya agak bebas, Muslim bukan menjadi mayoritas, jadi kami harus berjuang dan disiplin agar nilai-nilai agama tertanam di anak-anak kami. Usia dini inikan golden age, jadi kalau terlewat, nanti susah mengajarnya. Saya mengajari sendiri anak-anak di rumah.”

Ia menambahkan, waktu favorit bagi anak-anak untuk mengaji itu di pagi hari sebelum berangkat sekolah dan malam menjelang tidur.

“Jadi biasanya, kalau pagi hari dan malam. Pagi hari sebelum berangkat sekolah itu baca satu lembar Al Quran dan malam hari nanti jelang tidur, saya ajari untuk hafalan surat-surat. Tentu, metodenya tidak ketat atau kaku, agar anak tidak bosan. Ya mereka mengaji sambil bermain, yang penting jalan terus,” kata Badriyah, yang merupakan pengajar di University of London.
 

Pewarta: Munawir Aziz

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021