Pengembangan EBT harus perhatikan potensi wilayah dan prioritas

Jakarta, 4/10 (Antara)   Pengamat dari Energy Strategic Institute (ESI) Pranoto Effendi menegaskan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) harus memperhatikan skala prioritas dan potensi yang dimiliki. Dirinya memberikan alasan bahwa inventarisasi potensi EBT diperlukan untuk mengurangi beban biaya yang dikeluarkan dengan pengembangan yang perlu dilakukan, sehingga pada akhirnya daya jual energi tersebut tetap kompetitif.

Yang perlu diperhatikan saat ini dalam pengembangan EBT adalah sebaran potensi yang ada di Indonesia, setelah itu melihat biaya investasi yang perlu dikeluarkan atau cost per kWh nya karena tiap provinsi BPP nya berbeda, ujar Pranoto dalam kesempatan bertemu media pada hari Rabu (4/10) di Jakarta.

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan EBT adalah mempersiapkan infrastruktur pendukung yang memadai seperti adanya jaringan transmisi tegangan tinggi dan distribusinya serta juga memperhatikan kebutuhan pengguna (user load). Hal ini diperlukan karena setiap energi terbarukan (ET) pasti memiliki kapasitas yang berbeda-beda, sehingga perlu dipastikan bentuk dan sistem energi penyangganya (power buffer back-up) apabila ET tidak menghasilkan output yang optimal. Bentuk cadangan ini bisa berupa penyimpanan energi atau gas/diesel peak generator. Dirinya menyadari dalam situasi tertentu secara sistem pengembangan ET juga masih tergantung pada energi fosil, namun ini sebagai hal yang wajar di masa-masa transisi.

Misalnya energi terbarukan dari energi angin, faktor kapasitasnya paling antara 30 % - 40 % dari rated power-nya. Karena secara faktual angin bertiup tidak selalu sama, padahal penggunaan listrik relatif sama apakah ada angin atau tidak, paparnya.

Pranoto lulusan dari Newcastle University ini mencermati bahwa pengembangan EBT di Indonesia untuk skala kecil Mikrohidro dan Surya sangat potensial, setelah itu angin dan biomas. Adapun untuk skala besar bisa dapat dikembangkan EBT berbasis panas bumi atau geothermal, terlebih saat ini telah diatur dalam regulasi tersendiri yaitu UU No 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi.

Saya pikir EBT sangat prospektif dan sesuai dengan kondisi Indonesia, adapun terkait perkembangannya yang masih lambat karena sektor ini seringkali dipandang cenderung disruptive terhadap sistem energi berbasis bahan bakar fosil yang ada saat ini. karenanya perlu sebuah kebijakan yang konsisten dan lama. Pungkasnya.

Pemerintah dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan target pencapaian EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23 % pada tahun 2025. Angka tersebut secara simultan akan ditingkatkan menjadi 30 % di tahun 2030 dengan sejumlah terobosan kebijakan, salah satunya feed in tariff.
Editor: PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2017