Makassar (ANTARA) - Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun mengemukakan bahwa Sistem Pidana Peradilan Anak (SPPA) bisa mempidanakan siapapun, termasuk polisi sebagai penegak hukum, apalagi wartawan.

"Bicara anak itu perspektifnya hanya pada pelaku padahal ada anak dan saksi. Makanya dibuatlah pedoman yang mendorong pers untuk menghasilkan berita bernuansa positif dan berempati bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak," ungkapnya pada sosialisasi pedoman pemberitaan ramah anak di Makassar, Rabu.

Peran media dianggap positif saat mengetahui seperti apa perannya yang secara langsung menciptakan iklim terbaik untuk anak sekaligus saat mampu memupuk empati dari para pembacanya.

Terkait pemberitaan ramah anak, Dewan Pers telah melakukan teken MoU bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) disaksikan Presiden Jokowi pada Hari Pers Nasional.

Baca juga: Bupati Trenggalek jamin perawatan bayi dibuang di pasar

Baca juga: Pembunuh istri di Kramat Jati dijerat pasal perlindungan anak

Baca juga: Yohana, menteri pertama buka Festival Budaya Lembah Baliem


Salah satu wujudnya ialah sosialisasi pedoman pemberitaan ramah anak yang menyasar lima provinsi tahun ini yakni Surabaya, Banjarmasin, Nusa Tenggara Timur (NTT), Makassar dan Riau.

"Kami sudah sosialisasi ke empat kota termasuk Makassar yang digelar hari ini (Rabu) dan sisa satu daerah yakni Riau. Kita harapkan tahun depan bisa menjangkau wilayah yang lain," paparnya.

Adapun pedoman pemberitaan ramah anak oleh Dewan Pers yakni;

1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga serta kekerasan atau kejahatan, konflik, dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasiz tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual, dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, media yang sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang, atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tetapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) hanya dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU sistem peradilan pidana anak.

Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019