Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menegur jaksa penuntut umum (JPU) KPK karena mencampurkan dua keterangan dalam dua perkara korupsi.

"Pak jaksa, perkara di sini 'an sich', jadi sangat tidak dibenarkan mengikutkan perkara lain dalam perkara ini, jangan diulangi lagi," kata ketua majelis hakim Sunarso di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Hakim Sunarso menyampaikan hal itu dalam persidangan terdakwa mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (HK) (Persero) Budi Rachmat Kurniawan yang didakwa melakukan korupsi yang merugikan negara hingga Rp56,913 miliar dalam proyek pengadaan Gedung Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Bukit Tinggi kabupaten Agam, Sumatera Barat dan IPDN Rokan Hilir, Riau.

An sich dalam istilah hukum artinya untuk pemahaman yang tidak dicampuri oleh pemikiran lain selain apa yang sudah tercantum dalam definisi terikat yang telah diberikan.

Ketua majelis hakim menyampaikan hal itu saat JPU KPK Wawan Yunarwanto meminta keterangan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menjadi saksi untuk Budi Rachmat.

"Kita pernah bertemu sebelumnya dalam perkara e-KTP, dalam perkara itu ada juga pola yang dilakukan oleh Pak Azmin Aulia dan Pak Dadan (alias Afdal Noverman) apakah dalam perkara ini juga dilakukan pola seperti itu?" tanya jaksa Wawan.

"Itu fitnah besar, tak satu sen pun dari E-KTP saya terima, hukum mati saya, siapa yang kasih saya uang? Pak Jaksa, maaf ya kalau pola sudah terbentuk, mana ada saya terima satu sen pun dari E-KTP, tolong hukum mati saya kalau saya terima uang, Insya Allah saya 'clear'," jawab Gamawan dengan suara tinggi.

"Iya tapi kan ini polanya mirip," ungkap jaksa Wawan.

"Silakan telusuri dari bupati sampai menteri tidak pernah saya ketemu kontraktor sekalipun," jawab Gamawan masih dengan suara meninggi.

Saat itulah hakim melerai pembicaraan itu dan menegaskan agar jaksa tidak mencampurkan kedua perkara korupsi tersebut meski Gamawan memang pernah dipanggil sebagai saksi persidangan E-KTP yang sudah menyeret sejumlah pejabat dan pihak swasta termasuk Ketua DPR Setya Novanto.

Dua adik Gamawan, Azmin Aulia dan Afdal Noverman yang dipanggil Dadang oleh Gamawan dalam perkara E-KPT disebut ikut terkait dalam proyek tersebut karena disebut mendapatkan uang 2,5 juta dolar AS dari pengusaha Andi Narogong sehingga Gamawan Fauzi menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang E-KTP, tapi hingga saat ini hal tersebut belum terbukti.

Sedangkan dalam perkara dugaan korupsi pengadaan gedung IPDN Bukit Tinggi dan Riau tersebut, nama Afdal Noverman kembali mencuat dari kesaksian seorang pihak swasta bernama Hendra.

Afdal alias Dadang itu bertemu dengan Budi Rachmat Kurniawan dan menyepakati "fee" 2,5 persen dari total nilai proyek.

"Saya mendapat 15 persen, sisanya buat pak Dadang," ungkap Hendra yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam kasus tersebut.

Dalam BAP disebutkan pada 24 November 2011, Budi Rachmat Kurniawan di ruangannya memberikan Rp750 juta secara tunai, selanjutnya pada 2 Desember 2011 sejumlah Rp750 juta, pada 15 Desember 2011 sejumlah Rp750 juta dan 29 Desember 2011 sejumlah Rp580 juta sehingga totalnya Rp2,83 miliar.

"Pada akhir Desember, saya terima Rp400 juta, lalu selanjutnya dapat lagi jadi total sekitar Rp500-an juta," ungkap Hendra.

Hendra mengaku mendapatkan uang tersebut karena menjual nama Gamawan Fauzi.

"Kami jual Pak Gamawan, saya bilang saja, Pak Dadang ini adiknya Pak Gamawan gitu, karena pada waktu itu Pak Gamawan dulu menteri jadi saya dengan Pak Dadang, kalau saya sendiri sebagai apa kan ibarat saya sebagai siapa gitu, jadi berdua dengan pak Dadang untuk dapat uang itu," kata Hendra.

Baca juga: Jaksa KPK yakin ada uang untuk Gamawan

Baca juga: Penyamaran uang Setnov identik dengan sistem "Hawala"

Baca juga: KPK periksa Gamawan Fauzi terkait korupsi IPDN Riau

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019