Mataram (ANTARA News) - Foto hitam putih itu menggambarkan seekor sapi tengah dikerek ke atas kapal untuk diekspor di Pelabuhan Ampenan pada 1924.

Tampak dua orang berpakaian putih dan bertopi putih mengawasi pengerekan hewan ternak itu. Kemungkinan kedua orang itu merupakan pengawas pelabuhan.

Satu orang pekerja berpakaian hitam dari kalangan pribumi tengah mengatur posisi satwa itu.

Foto yang menggambarkan denyut perniagaan di Pelabuhan Ampenan yang terjadi di zaman dulu dimana suara para kuli angkut, dan anak buah kapal bercampur dengan deru angin laut yang terasa asin.

Setiap kapal merapat ke dermaga, mereka langsung sigap menurunkan barang yang selanjutnya akan dibawa ke gudang penyimpanan yang ada di seputar pelabuhan. Hiruk pikuk penumpang kapal laut pun tidak kalah membuat bising di dermaga yang terbuat dari kayu itu.

Dari kejauhan siluet Gunung Agung, Bali, yang sepelemparan batu itu, turut menemani kesibukan setiap hari pelabuhan yang berada sekitar satu kilometer dari pusat kota Pecinan atau simpang lima.

Tidak kalah, para pegawai Bank Dagang Belanda (Netherlands Indische Handelsbank), melayani para nasabah yang akan berangkat maupun tiba di pelabuhan tersebut.

Pasca kekalahannya Kerajaan Mataram oleh Belanda pada 1894, membuat bernafsu ingin menguasai jalur perdagangan termasuk ingin menyedot kekayaan alam yang dimiliki Pulau Lombok yang dahulunya merupakan bagian dari Pulau Sunda Kecil bersama Bali. Hingga dibangunlah Pelabuhan Ampenan pada 1896.

Belanda sebenarnya sudah sejak lama ingin menguasai tanah Lombok, mengingat dari sejumlah catatan salah seorang Belanda yang pernah mendatangi pulau itu pada 1880-an.

"Sejak tahun 1880-an, Belanda mulai melihat kekayaan Pulau Lombok baik hasil-hasil pertanian maupun kandungan bahan tambang (timah)," kata H Sudirman dalam bukunya Studi Sejarah dan Budaya Lombok.

Pada 1883 salah seorang Belanda yang berkunjung ke Lombok, menjelaskan Lombok sangat kaya akan kandungan mineral. Termasuk juga hasil pertanian seperti beras, kopi, dan kandungan mineral seperti timah, biji besi.

Serta, dugaan adanya kandungan emas serta ledokan raksasa sumber minyak bumi di bagian utara Lombok, mendorong Belanda melakukan politik kontrol secara langsung terhadap Pulau Lombok.

Dr Alfons van der Kraan menyebutkan mengenai bea-bea ekspor untuk beras, kopra, hewan, kuda, babi, kulit, tembakau, kapas, kayu, kopi, kelapa, minyak kelapa, kacang, kemiri, mengkudu, bawang dan lilin.

Apabila dikirim ke tujuan-tujuan di luar Hindia Belanda harus tunduk pada persentase "ad valorem". Ad volerem adalah pembebanan pajak impor yang berarti menurut nilai uang.

Dari yang digambarkan oleh Alfons itu, kita bisa membayangkan bagaimana sejumlah barang yang berasal dari Lombok untuk dibawa oleh kapal laut yang hilir mudik ke Pelabuhan Ampenan.

Bukan hanya mengekspor, kapal laut juga membawa barang impor dari luar Hindia Belanda terutama dari Singapura.



Produk unggulan

Michael Mc Millan menyebutkan ibu kota Mataram, saat dirinya menceritakan perjalanannya ke Pulau Jawa dalam buku "A Journey to Java" pada awal abad 19, serta dikatakan pula soal pusat perdagangan Ampanam (Ampenan).

"Sejak tahun 1894, pulau ini (Lombok) berada di bawah pemerintahan Belanda," katanya.

Serupa dengan pandangan yang lainnya, menyebutkan bahwa produk dari Pulau Lombok adalah beras, gula, kopi dan lain sebagainya.

Ia juga menyebutkan hewan ternak yang dikembangbiakkan dan diekspor, seperti kuda dan kerbau.

"Dari Pelabuhan Ampenan berbagai barang ke luar masuk Pulau Lombok. Barang-barang hasil bumi dengan kualitas tinggi adalah ekspor andalan," kata Muhammad Shafwan dalam buku Ampenan Kota Tua.

Denyut kesibukan perniagaan dan naik turunnya barang ke kapal laut di Pelabuhan Ampenan itu, dapat terekam bilamana kita mengunjungi Kota Tua Ampenan itu.

Untuk bersantai melepaskan kepenatan bekerja sehari-hari di pelabuhan itu, sarana hiburan pun tersedia di sana saat itu diantaranya Bioskop Cina di Ampenan yang lokasinya berada di belakang bangunan Bank Dagang Belanda (Netherlands Indische Handelsbank).

Saat ini bangunan itu sudah lenyap tanpa ada puing-puingnya, yang tersisa hanya sampah yang bertebaran di atasnya.*


Baca juga: Catatan keharmonisan di Kota Tua Ampenan

Baca juga: Kusamnya kota Tua Ampenan

Baca juga: Dari Ampenan, kisah perdagangan itu dimulai



 

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018