"Sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen, MPR memiliki kewenangan yang mutlak, salah satunya adalah dapat memberhentikan presiden,"
Jakarta (ANTARA News) - Anggota MPR dari Fraksi PKB, Mohammad Toha, mengatakan gerakan reformasi telah mengubah sistem ketata negaraan Indonesia dengan menganut sistem saling mengawasi, setelah adanya amendemen UUD Tahun 1945.

Dalam siaran pers yang diterima Antara Jakarta, Minggu (14/10), Mohmmad Toha menjelaskan sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen, MPR memiliki kewenangan yang mutlak, salah satunya adalah dapat memberhentikan presiden. Gerakan reformasi itu tambahnya di antaranya menuntut supremasi hukum dan kebebasan press.

"Tahun 2001, presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR," ujarnya saat menjadi narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan metode training of trainer (TOT) bagi kalangan perwira menengah TNI AL, di Surabaya, Jawa Timur .

Mantan Wakil Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut menjelaskan bahwa sekarang pemberhentian presiden harus melalui proses berbelit dan panjang melewati DPR, MK dan MPR terlebih dahulu.

Mohammad Toha menambahkan dahulu anggota MPR terdiri dari utusan daerah dan golongan. Sekarang anggota MPR dipilih oleh rakyat lewat Pemilu yang memilih anggota DPR dan DPD.

"Dengan demikian sekarang MPR lebih mencerminkan kemauan rakyat," ujar alumni UNS, Surakarta, Jawa Tengah itu.

Diceritakan, dahulu Soeharto bisa menjadi presiden berkali-kali sebab dalam UUD Tahun 1945 tidak ada batasan bagi seseorang untuk menjadi dan menjabat sebagai presiden.

Menurut Mohammad Toha, hal demikian sekarang tak bisa terjadi lagi.

"Konstitusi membatasi masa jabatan presiden selama dua kali," paparnya. Pembatasan ini dilakukan guna mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter.

Penjelasan Mohammad Toha diperkuat oleh anggota Lemkaji MPR Prof. Syamsul Bahri yang saat itu juga menjadi narasumber TOT.

Guru Besar Universitas Brawijaya tersebut menuturkan perubahan yang terjadi di MPR didorong oleh anggotanya sendiri yang mengamputasi kewenangan yang dimiliki.

Namun, sekarang dirasakan adanya amputasi yang tidak tepat sehingga membuat perjalanan bangsa dan negara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dia mengungkapkan bahwa tidak adanya kewenangan dari MPR untuk membuat haluan negara, GBHN, membuat pembangunan yang dilakukan mengacu pada visi dan misi presiden. Hal itu mengakibatkan arah pembangunan yang berganti ketika presidennya diganti.

Syamsul Bahri bersyukur saat ini ada keinginan dari MPR untuk melakukan amandemen yang bertujuan untuk mengembalikan kewenangan MPR membuat GBHN.

"Dalam Sidang Tahunan MPR 2018 sudah diusulkan melakukan amandemen demi haluan negara," ungkapnya.

Dirinya optimistis bila ada haluan negara maka pembangunan bangsa ini akan terarah.

Agar haluan negara tidak kaku dan bisa menyesuaikan perkembangan zaman, dirinya mengusulkan haluan negara yang ada tidak terlalu teknokratis dan teknis.

Rancangan pembangunan bangsa hingga 50 tahun ke depan dianggap hal yang penting, bercermin pada China yang merancang pembangunan hingga 150 tahun ke depan.(KR-MSU)

Pewarta: Maya Sofiana Utami
Editor: Jaka Sugiyanta
Copyright © ANTARA 2018