Jakarta(ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bupati nonaktif Hulu Sungai Tengah Abdul Latif (ALA) sebagai tersangka penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Tersangka ALA sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima gratifikasi yang dianggap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Abdul Latif menerima dari sejumlah pihak dalam bentuk "fee" proyek-proyek dalam APBD Pemkab Hulu Sungai Tengah selama kurun masa jabatannya sebagai Bupati.

"Diduga ALA menerima "fee" dari proyek-proyek di sejumlah Dinas dengan kisaran 7,5 sampai 10 persen setiap proyeknya. Total dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas ALA yang diterima setidak-tidaknya Rp23 miliar," kata Syarif.

Terkait dugaan penerimaan gratifikasi tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Selama menjabat sebagai Bupati, tersangka ALA diduga telah membelanjakan penerimaan gratifikasi tersebut menjadi mobil, motor, dan aset lainnya baik yang diatasnamakan dirinya dan keluarga atau pihak lainnya," ungkap Syarif.

Dalam proses pengembangan perkara ini, KPK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang, yaitu perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, mengibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain.

"Atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diduga dilakukan oleh tersangka ALA selama periode jabatan ALA sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah," ungkap Syarif.

Terkait dugaan TPPU tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan Abdul Latif bersama tiga orang lainnya sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap terkait pengadaan pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Damanhuri Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun Anggaran 2017 pada 5 Januari 2018.

Diduga sebagai pihak penerima, yaitu Abdul Latif, Direktur Utama PT Putra Dharma Karya Fauzan Rifani, Direktur Utama PT Sugriwa Agung Abdul Basit. Sedangkan diduga sebagai pihak pemberi, Donny Witono.

Diduga pemberian uang sebagai "fee" proyek pembangunan ruang perawatan Kelas I, II, VIP, dan super VIP di RSUD Damanhuri, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Dugaan komitmen "fee" proyek itu adalah 7,5 persen atau sekitar Rp3,6 miliar.

Untuk melancarkan realisasi pembayaran "fee" proyek RSUD maka sempat dijanjikan akan ada proyek besar lain tahun 2018, di antaranya pembangunan UGD.

Salah satu kode realisasi sudah dilakukan adalah digunakannya kalimat "udah seger, kan?".

Dugaan realisasi pemberian "fee" proyek itu antara lain pemberian pertama dalam rentang September sampai Oktober 2017 sebesar Rp1,8 miliar dan pemberian kedua pada 3 Januari 2018 sebesar Rp1,8 miliar.

Selanjutnya sebagai komisi, Donny Witono melakukan transfer ke Fauzan Rifani sejumlah Rp25 juta.

Tim KPK juga mengamankan sejumlah barang bukti, yakni rekening koran atas nama PT Sugwira Agung dengan saldo Rp1,825 miliar dan Rp1,8 miliar, uang dari brankas di rumah dinas Abdul Latif sebesar Rp65,65 juta serta uang dari tas Abdul Latif di ruang kerjanya sebesar Rp35 juta.

Sebagai pihak yang diduga penerima Abdul Latif, Fauzan Rifani, dan Abdul Basit disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan diduga pihak pemberi Donny Witono disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Baca juga: Mobil mewah dan moge Bupati Hulu Sungai Tengah dibawa ke Jakarta

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018