Tokyo (ANTARA News) - "Ziarah", film panjang pertama dari sutradara B.W. Purba Negara menjadi salah satu perwakilan Indonesia di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) 2017.

Sutradara yang akrab disapa BW atau Purba itu berbincang dengan ANTARA News mengenai perbedaan suasana festival film di Tokyo dengan negara lain, alasannya membuat film "Ziarah" hingga pengalamannya pertama kali keluar dari zona nyaman untuk meracik film panjang.

Mas BW sudah wara-wiri ke festival film internasional, bedanya apa sih festival di Tokyo dengan negara lain?

Beragam sih dari satu festival dengan festival lain. Di Tokyo Film Festival pemilihan filmnya cukup beragam dan di sini banyak film-film "tengah". Film tidak banyak yang sangat eksperimental sampai bikin kita pusing tapi juga bukan film yang sangat populer, sangat mainstream. Ada di tengah-tengah. 

Kalau dari iklim penonton, apresiasinya juga sangat bagus sekali. Ketika melihat kemarin, yang saya alami ketika menonton "Ziarah", saya bertemu banyak akademisi, peneliti yang mereka sudah sempat belajar secara khusus tentang Indonesia dan festival semacam ini saya pikir penting bukan hanya untuk pelaku film dan penonton film tapi juga bahan studi. Tentu sesuai dengan bidang masing-masing.

Dalam konteks Asia Tenggara saya pikir film Ziarah jadi penting juga untuk diperbincangkan. Saya juga melihat film-film yang lain menarik untuk jadi bahan kajian, bukan pada sisi eksperimentasi estetik tapi pada isu yang diangkat.

Mengapa membuat film "Ziarah"?

Saya merasa penting untuk membuat film dengan topik yang belum banyak dibicarakan oleh filmmaker di Indonesia tapi hal itu ada di dekat saya, di sekeliling saya, kemudian saya memilih Ziarah ini. 

Yang mendorong saya barangkali karena saya hidup di lingkungan agraris dimana hubungan manusia dan tanah itu jadi dasar untuk memandang banyak hal. Saya tertarik membuat film yang mengeksplorasi nilai masyarakat agraris. Saya kemudian menemukan bahwa cerita tentang relasi manusia dengan makam mungkin bisa mewakili itu.

Film ini bicara tentang budaya Jawa, tapi ternyata bisa diterima juga di penonton Jepang ya?

Meskipun tidak 100 persen, kalau persoalan yang saya angkat, termasuk payer-layer yang banyak itu, mungkin tidak ditangkap 100 persen. Di film, ziarah ada beberapa layer, dan layer yang paling atas sebenarnya saya rancang agar mudah dicerna dan universal, ternyata itu diangkat juga. 

Yang paling tampak adalah meskipun film ini tentang bagaimana seorang lansia berdamai dengan masa lalu, sebenarnya tentang cinta. Tentang nenek yang menjelang ending kemudian menemukan fakta yang menyakitkan kemudian memilih move on, sebenarnya itu universal.

Secara struktur, film "Ziarah" memang saya buat universal. Yang menantang untuk dipahami mungkin lebih ke konteks kultural. Tapi secara struktur cerita sebenarnya konvensional. Ketika pada akhirnya ini bisa diterima ya saya senang sekali.

Apa sih pesan yang ingin disampaikan lewat "Ziarah"?

Penting untuk belajar berdamai dengan sejarah, baik dalam arti personal mau pun dalam arti peristiwa besar sebuah negara. Dalam perjalanan mbah Sri mencari makam suami yang bersinggungan dengan sejarah bangsa ini, secara simultan dia juga sebenarnya menelusuri luka-luka cintanya juga. Entah itu sejarah besar negara kita, bangsa kita atau sejarah personal, semuanya sama-sama harus kita maknai dan perlu bisa berdamai dengan itu. Banyak orang yang tidak bisa berdamai dengan sejarah, dengan masa lalu dan itu membuat kita tidak bisa melangkah ke depan.

Tantangan membuat film Ziarah?

Banyak aktor yang bukan aktor profesional tapi orang biasa, tentu menantang dalam prosesnya karena butuh pendekatan khusus. Untuk Mbah Ponco Sutiyem butuh latihan khusus untuk bisa berakting depan kamera. Akhirnya alhamdulillah meski prosesnya berat, saya senang beliau bisa bermain secara natural.

Alasan akhirnya keluar dari zona nyaman film pendek dan membuat film panjang?

Ada gagasan-gagasan yang tepat ketika disampaikan dalam bentuk film pendek, ada gagasan lain dengan kompleksitas lain yang tidak bisa atau tidak cukup ketika disampaikan dalam film pendek, maka kita butuh film panjang. Suatu saat nanti kalau saya punya gagasan lain lagi yang tepatnya dibuat dalam film pendek, ya saya akan membuat film pendek. Saya tetap akan membuat film pendek. Kalau ada gagasan lain yang tepat untuk film panjang saya akan membuat film panjang.

Bedanya film panjang dan pendek, selain durasi?

Kompleksitasnya berbeda dan jauh lebih menguras energi. Dari sisi lain, film pendek ada beratnya juga. Kalau film pendek dalam waktu singkat bisa menyampaikan gagasan dengan kuat, itu tantangan juga. Di film panjang kita punya waktu cukup panjang untuk mendalami satu persoalan agar bisa diterima secara mendalam. 

Mas BW belajar film otodidak?

Iya, dulu belajar otodidak sama Yosep Anggi Noen, itu teman SMA saya. Kami mengawali dari otodidak, enggak tahu apa-apa, ya mencoba saja trial and error. Sampai akhirnya dia bisa jadi seperti sekarang, saya menyutradarai "Ziarah", mas Anggi juga sukses dengan karya-karyanya, yang terakhir "Istirahatlah Kata-Kata".

Dulu kuliah filsafat kan, seberapa besar pengaruh pada film?

Yang jelas ketika saya belajar filsafat tentu saja lebih banyak berkutat dengan gagasan, pemikiran dan itu sepertinya terbawa. Ketika membuat film yang pertama kali terpikirkan adalah gagasannya, bukan teknisnya.

Ketika saya menemukan cerita, saya selalu terbawa untuk menelusuri di balik cerita ini sebenarnya ada apa ya? Ada sisi apa lagi yang bisa kita eksplor? 

Saya tertarik pada tema manusia, sisi batin, sisi dalam dari manusia yang sudah menjadi kegelisahan saya sejak saya belajar filsafat dulu sampai sekarang.

Mas BW termasuk orang yang membedakan film jadi indie dan komersil?

Saya tidak terbiasa dengan dikotomi itu sih. Yang jelas ketika saya membuat film, saya ingin membuat film secara merdeka, itu saja.

Sudah ada rencana proyek selanjutnya?

Tentu ada beberapa ide tapi belum bisa diputuskan mana yang lebih dulu karena berkaitan dengan banyak hal. Dan membuat film itu tentu saja tidak hanya soal sudah dapat ide kemudian langsung dibuat, tentu saja tidak. Karena berkaitan dengan hal lain, pihak lain yang nantinya akan bekerjasama.

Ada beberapa ide tapi semuanya masih belum siap.

Kira-kira bakal film pendek atau panjang?

Ada film pendek dan film panjang.



Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017