Jakarta (ANTARA News) - Kekerasan masih mendominasi persoalan perempuan dan anak sejumlah negara di Asia Tenggara, demikian hasil "ASEAN Confederation Women Organization" (ACWO) ke-17 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, 30 Oktober-2 November.

"Kekerasan masih menjadi persoalan pokok yang menghantui perempuan dan anak di Asia Tenggara," ujar seorang delegasi Indonesia untuk ACWO, Susianah Affandy, kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Agenda utama dalam ACWO ke-17 tersebut, yakni mengenai penyampaian laporan masing-masing organisasi perempuan ASEAN dan menyusun rencana strategis ACWO periode 2017-2020.

Kongres Wanita Indonesia (Kowani) merupakan satu-satunya organisasi perempuan yang menjadi anggota ACWO. Dalam sidang ACWO ke 17 ini, Kowani memaparkan salah satu program utamanya yakni melakukan pencegahan, kampanye dan edukasi terhadap perdagangan perempuan dan anak.

"Persoalan perdagangan di Indonesia dan negara lainnya sulit diberantas karena kasus ini ibarat pedang bermata dua. Pelaku tindak pidana perdagangan manusia menampilkan dirinya sebagai dewa yang hendak menolong kaum perempuan yang ingin mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar korban perdagangan manusia dijanjikan bekerja di restoran, pengasuh anak namun akhirnya mereka dipaksa melayani seks di lokalisasi, bekerja di tempat hiburan dan panti pijat," papar dia.

Para korban baru menyadari bahwa mereka diperjualbelikan setelah dipaksa melakukan hal yang tidak sesuai dengan iming-iming sebelumnya.

Meski sudah peraturan untuk mengatasi perdagangan manusia, tapi kasus perdagangan manusia di Tanah Air cenderung meningkat.

Data yang dihimpun Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna-Sosial Kementerian Sosial sampai 2014 terdapat 6.088 kasus, di antaranya korban yang alami kekerasan seksual berjumlah 983 orang.

"Angka itu tentu belum mempresentasikan angka yang sesungguhnya karena banyak tidak terungkap ke publik."

Masalah "trafficking" di Indonesia disebabkan oleh struktur sosial patriakhat, memandang perempuan sebagai komoditas yang dapat mendapatkan hasil. Selain itu, juga masalah kemiskinan dan rendahnya pendidikan.

"Selain itu, kami mengharapkan dukungan masyarakat luas agar tidak melakukan perkawinan anak, karena perceraian banyak terjadi disebabkan perkawinan usia anak. Anak-anak harus mendapat perlindungan, mendapat pengasuhan dan pendidikan yang cukup bagi modal masa depannya," tuturnya.

Jika di usia belia, anak-anak dilepas hak-haknya sebagai anak karena harus menjalani kehidupan rumah tangga, maka dalam struktur patriakat seperti di Indonesia mereka sangat rentan dengan kekerasan.

"Pada saat punya masalah, anak-anak yang sudah berumah tangga ini akan keluar rumahnya dan memilih bekerja, di situlah para sindikat perdagangan manusia bekerja," kata Ketua Bidang Sosial, Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Dewan Pimpinan Kowani itu.

(I025)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016