Perbedaan politik tidak akan menjadi pemisah di antara kita."
Depok (ANTARA News) - Setelah ketegangan dan pertikaian yang memuncak pada Pemilihan Umum Presiden 2014 di antara dua kubu pasangan capres/cawapres Joko Wododo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, muncul ajakan islah (rekonsiliasi) yang ditawarkan presiden terpilih Joko Widodo.

Ajakan islah Joko Widodoyang akrab disapa Jokowi itu dinilai sebagai bentuk kedewasaan berpolitik di era demokrasi partisipatif ini.

Pidato pertama Jokowi pascadinyatakan terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai presiden 2014-2019 dinilai banyak pihak sangat bernuansa rekonsiliasi dengan mengucapkan terima kasih kepada Prabowo, meski sampai kini capres nomor urut satu itu belum juga legowo dan malah membuat tim perjuangan setelah menolak pelaksanaan Pilpres.

Namun Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menganggap wajar jika kubu Prabowo belum legowo. Ada mekanisme mempertanyakan hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun tradisi yang juga terjadi hampir di 90 persen Pilkada ini mestinya diubah. Prabowo juga semestinya tak melempar pernyataan menolak pelaksanaan Pilpres.

Koalisi Merah-Putih bahkan kemudian mengajukan gugatan ke MK dengan klaim terjadi kesalahan hitung suara. Prabowo-Hatta mengklaim menang dalam pilpres dengan jumlah suara 67.139.153 atau 50,25 persen. Sedangkan Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan 66.435.124 suara atau 49,74 persen.

Berkas Permohonan Perselisihan Hasil Pilpres sudah diserahkan kepada MK 25 Juli lalu. Persidangan perdana atas gugatan tersebut akan digelar di MK pada 6 Agustus 2014.

"Sebenarnya ada ciri khas dalam pidato Jokowi. Saya pikir sudah muncul nuansa rekonsiliasi ketika ucapan terima kasih pertama kepada Prabowo Subianto, menyatakan bahwa ini akhir dari sebuah pertarungan dan awal dari rekonsiliasi, ini mendasar," kata Yunarto.

Menurut dia, sikap Jokowi ini menunjukkan bahwa pembangunan bangsa dan demokrasi itu harus partisipatif dan bersama-sama. Dia mengajak seluruh elemen bangsa bersatu, ini ciri khas Jokowi pemimpin yang ingin bekerja sama dengan masyarakat, pemimpin yang memberdayakan masyarakat.

Ajakan islah ini dinilai pengajar ilmu komunikasi di Unpad, Bandung memberikan beberapa pendidikan politik. Pertama, lemahnya institusi penyelenggara dan pengawas pemilu menyebabkan peran para kontestan semakin penting untuk meyakinkan konstituennya bahwa konstetasi harus diselesaikan di bilik suara dan tidak di tempat lain.

"Kedua, gesekan di akar rumput dengan isu agama, ras, dan bahkan komunisme membutuhkan suri tauladan dari para kontestan bahwa semua isu yang berpotensi memecah-belah bangsa harus dihentikan dan digantikan dengan mengarahkan energi di akar rumput demi partisipasi politik yang positif," katanya.

Ketiga, ujarnya, mesin-mesin oligarki serta elit politik di balik kedua kandidat yang sudah bertaruh habis-habisan untuk memenangkan jagoannya, perlu disadarkan, bahwa jagonya kini lebih memilih keutuhan bangsa daripada kepentingan segelintir kelompok.

Pengamat politik dan dosen Jurusan Politik, FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada Nangroe Aceh Darussalam juga sependapat bahwa langkah rekonsiliasi merupakan bagian dari tahap awal, serta pondasi penting membangun hubungan dan keterlibatan aktif dalam membawa perubahan dan kemapanan segala sektor baik politik, ekonomi, dan lainnya.

Menurut Aryos, rekonsiliasi juga mempermudah kerja-kerja melayani rakyat dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang presiden dan wakil presiden di pemerintahan. Selain itu, rekonsiliasi akan semakin memperkuat konsolidasi dan sinergisasi antara para pendukung kedua kandidat presiden dalam memajukan Indonesia.

Organisasi Sosial Keagamaan, Muhammadiyah menyatakan siap menfasilitasi rekonsiliasi kedua kubu. "Rekonsiliasi mutlak perlu untuk merajut kembali silaturahmi. Kami siap memediasi dan mengusulkan agar Jokowi dan Prabowo bertemu dan bicara," kata Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Organisasi ini sangat mendorong terjadinya rekonsiliasi kedua kubu. Sebab, persaingan keduanya di Pilpres diyakini membuat rakyat terbelah. Semua pihak harus memprakarsai islah ini. "Boleh juga dari presiden terpilih, bisa dimulai dari sekarang juga atau dari pihak lainnya. Kita ingin bangsa ini rukun jangan terjebak dengan pertentangan dan permusuhan," ujarnya.


Sikap Kenegarawanan

Sementara itu Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, Abdus Salam mendukung wacana islah nasional oleh Nahdlatul Ulama (NU) setelah penghitungan resmi Pilpres 2014. Rekonsiliasi diperlukan guna menghindari perpecahan antar tokoh, terutama yang terlibat pada masing-masing kubu capres-cawapres.

Wacana islah nasional pertama kali dilontarkan Ketua PWNU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah, dengan meminta kepada Prabowo maupun Jokowi agar tidak jumawa jika menang dan legawa bila kalah.

Salam berpendapat, islah nasional diperlukan karena perpecahan antar tokoh bisa menyebar hingga tataran bawah, terutama para pendukung. "Pilpres kali ini adalah momentum bagi Jokowi maupun Prabowo, juga tokoh penyokong keduanya, untuk menunjukkan sikap kenegarawanan."

Bagaimanapun, katanya, Prabowo dan Jokowi adalah putra terbaik bangsa yang harus memberikan contoh berdemokrasi yang baik kepada rakyat. Dengan demikian, ketegangan akibat persaingan harus dihapus pasca pengumuman resmi oleh KPU. "Sikap kenegarawanan itu salah satunya menerima kekalahan demi utuhnya bangsa dan negara," katanya.

Rekonsiliasi nasional pasca-Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 menurut Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR, Marwan Jafar, merupakan keniscayaan. Seluruh komponen bangsa diharapkan bersatu untuk menjadikan Indonesia lebih baik.

"Proses pilpres sudah selesai. Mari kita rekonsiliasi nasional demi seluruh bangsa, negara dan rakyat yang kita cintai," kata Marwan sambil menambahkan, pemenang pilpres yakni Jokowi-JK sudah berkomitmen untuk membangun kebersamaan sesama anak bangsa dengan seluruh pihak.

Dia juga meminta MK menjaga netralitas atas gugatan Prabowo-Hatta. "Kita harus berprasangka baik bahwa MK punya netralitas, indepensi, hakim berintegritas serta berpihak pada kebenaran dan objektivitas."

Bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X menyerukan kepada dua kubu pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK menjadikan momentum Lebaran untuk melakukan rekonsiliasi dan meredakan ketegangan akibat pilpres.

"Kami harap persoalan pemilu cepat selesai dan mendorong rekonsiliasi dua pihak dengan segera," kata Sultan. "Proses ke MK juga perlu dipandang sebagai salah satu jalan rekonsiliasi secara konstitusional, sebab gugatan tim Prabowo ini untuk membuktikan dugaan kecurangan. Dengan demikian, kubu Prabowo bisa mendapat kejelasan."

Rekonsiliasi pasca-pemilu juga dijadikan tema shalat Idul Fitri yang diikuti 20 ribuan warga Yogya. Dalam khotbahnya Ustad Jawahir Thantowi mendesak para elit politik menjadi teladan rekonsiliasi agar diikuti masyarakat.

"Sudah waktunya para elit politik berlaku terhormat dan bermartabat dengan memulai rekonsiliasi," katanya sambil menambahkan, rekonsiliasi nasional bisa terwujud jika para elit politik bersikap legawa. "Demi perdamaian dan persatuan.

"Dalam pidato politiknya pasca-pengumuman hasil pilpres, Jokowi menyatakan kemenangannya dengan JK merupakan kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan mencapai Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian masih panjang. "Perbedaan politik tidak akan menjadi pemisah di antara kita," katanya.

Seperti, kata Jokowi, perbedaan dalam sebuah demokrasi merupakan sesuatu yang lazim. Namun, dia menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk bersatu pasca-pilpres ini.  (Z002/Z002)

Oleh Illa Kartila
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014