Ini adalah suara kecil dari pedalaman rimba di Jambi, semoga bisa terdengar luas.
Jakarta (ANTARA News) - Produser Mira Lesmana dan penulis skenario Riri Riza ingin menyampaikan suara anak-anak suku pedalaman Hutan Bukit Duabelas, Jambi, lewat film yang diadaptasi dari buku "Sokola Rimba." 

"Ini adalah suara kecil dari pedalaman rimba di Jambi, semoga bisa terdengar luas," kata Mira sebelum pemutaran perdana film "Sokola Rimba" di Jakarta, Selasa (12/11). Kisah Butet Manurung, antropolog penerima penghargaan Time Asia Hero 2004, saat menjadi guru bagi anak-anak rimba dalam film itu memang tidak persis sama dengan cerita dalam buku "Sokola Rimba".

Riri Riza hanya menuangkan aspek-aspek menarik dalam buku ke dalam film berdurasi 90 menit tersebut dan menambahkan dramatisasi serta tokoh rekaan ke dalamnya.


Namun film itu tetap mengusung isi inti buku "Sokola Rimba", tentang kepedulian Butet pada kaum marjinal yang terdesak arus perubahan dan modernisasi.


Dalam film itu, Butet (Prisia Nasution) mencoba mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat rimba, seperti baca tulis dan berhitung, agar mereka tidak tergilas oleh tekanan dunia luar. Ia bertemu dengan seorang anak bernama Nyungsang Bungo yang menunjukkan ketertarikan untuk belajar.

Bersama anak-anak lain seperti Beindah dan Nengkabau, Nyungsang Bungo melahap pelajaran dari Butet di sela kegiatan mereka di rimba.

Upaya Butet tidak sepenuhnya mulus karena masih banyak kelompok rimba yang percaya bahwa belajar baca tulis melanggar adat dan dapat menyebabkan malapetaka.

Film itu juga menggambarkan kehidupan orang rimba yang belum banyak diketahui, seperti ritual memanjat pohon untuk mengambil madu.


Proses Panjang


Proses pembuatan film "Sokola Rimba" terbilang panjang.


Riri Riza harus lebih dulu meyakinkan Butet agar mengizinkan dia mengadaptasi buku "Sokola Rima" ke film.

Butet mengaku merasa senang sekaligus khawatir saat Riri dan Mira mengajukan keinginan untuk memfilmkan bukunya.

"Sampai aku yakin bahwa mereka mengerti dan berpihak serta bisa merasakan perjuangan orang rimba, aku akhirnya setuju. Tapi yang lebih penting lagi persetujuan dari rimba," kata Butet.

Difasilitasi oleh Butet dan organisasi Sokola, Riri beserta para kru lantas berkali-kali mengunjungi rimba sejak November tahun lalu untuk meminta izin, melakukan observasi dan beradaptasi dengan kehidupan rimba yang akan divisualisasikan dalam film.

Proses pengambilan gambar untuk film tersebut berlangsung selama tiga pekan.

Riri sengaja mengambil lokasi rimba dan mendapuk anak-anak rimba untuk berperan demi menghadirkan kisah yang otentik secara visual.

Murid-murid Butet pada era 2000-an menjadi inspirasi penciptaan karakter anak-anak di film, tapi anak-anak yang didapuk berperan menjadi diri mereka sendiri karena Riri menyesuaikan skenario dengan kehidupan mereka.

Sementara pemeran Butet jatuh pada aktris Prisia Nasution. Aktris kelahiran 1 Juni 1984 itu belajar bahasa rimba demi menghidupkan karakternya.


Ada pula Rukman Rosadi yang berperan sebagai Bahar, rekan kerja Butet, dan Nadhira Suryadi menjadi Andit, sahabat Butet.

Visualisasi kehidupan rimba dalam film produksi Miles Production itu terwujud berkat kerja sama beberapa profesional seperti sinematografer Gunnar Nimpuno dan penata artistik Eros Eflin yang bekerja dengan Riri Riza di film "Petualangan Sherina".

Selain itu ada Aksan Sjuman yang menggarap musik film serta editor W. Ichwandiardono, yang sebelumnya mengerjakan film "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi".

Riri berharap film itu bisa membuka mata orang bahwa pendidikan di Indonesia tidak bisa disamaratakan di semua tempat.

"Indonesia itu kompleks, enggak bisa disamaratakan, pendidikan harus sama di antara orang desa, kota, atau rimba. Situasi film ini memperlihatkan hal itu," imbuhnya.






Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013