Festival Apangi merupakan tradisi yang digelar oleh warga Dembe 1 setiap malam 10 Muharram tahun Hijriah
Gorontalo (ANTARA) - Hari itu, 7 Agustus 2022, adalah hari yang sibuk bagi masyarakat Kelurahan Dembe 1 Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo , Provinsi Gorontalo.

Tidak terkecuali bagi Rusni Laode (62) yang sejak pagi hari duduk melantai dan berulang kali mengayunkan alu kayu ke dalam lumpang batu miliknya.

Ia sedang menghaluskan bumbu untuk masakan tabu moitomo, makanan khas Gorontalo yang lebih dikenal dengan sebutan kuah bugis.

Rumah panggung tempat Rusni sekeluarga tinggal, terbuat dari papan kayu dan letaknya persis membelakangi Danau Limboto.

Sepertiga dari bangunan rumah tersebut adalah ruangan dapur, dengan pencahayaan alami yang cukup. Di sana Rusni tampak leluasa meracik beragam bumbu masakan.

Hanya sekitar dua meter dari tempat Rusni duduk, putri kandungnya Karmila Baco (43) baru saja menyalakan kompor gas dan meletakkan pelat seng diatasnya.

Ia lalu mulai memanaskan cetakan kue berbentuk bulat dan mengaduk adonan putih di sebuah loyang.

Karmila akan memasak ratusan kue apangi, yang akan dibagikan malam nanti.

“Saya sengaja alas pakai pelat seng, agar kue apangi tidak mudah gosong. Memasak kue ini mudah, tapi perlu diatur apinya agar tingkat kematangan dan warnanya pas,” kata Karmila sambil menuangkan adonan satu per satu ke dalam cetakan yang sudah panas.

Keduanya telah menyiapkan lima kilogram tepung terigu, dua kilogram tepung beras, susu, dan ragi untuk menghasilkan sekitar 500 buah kue. Agar lebih sedap dan gurih, adonan dapat ditambahkan dengan santan dan kelapa muda parut.

Adonan tersebut harus didiamkan selama 45 menit sebelum dimasak agar mengembang. Apangi yang ideal adalah yang teksturnya lembut, empuk serta berpori.

Kue ini disantap dengan cara mencelupkannya ke cairan gula merah. Itu sebabnya kudapan ini juga sering disebut dengan apang colo (celup).

Kue apangi adalah penganan tradisional yang melekat di hati masyarakat Gorontalo. Apangi menjadi ciri khas pada tradisi-tradisi bernuansa Islami di daerah tersebut.

Rusni dan Karmila dengan sukacita memasak apangi, karena ingin memeriahkan Festival Apangi. Bahkan, keluarga tersebut sudah mempersiapkan dana khusus sebulan sebelum pelaksanaan festival.

“Kami sekeluarga patungan uang untuk membeli bahan-bahan makanan dan kami masak bersama. Walaupun dihimbau hanya menyediakan kue apangi, tapi kami tetap menyajikan makanan lainnya untuk tamu-tamu yang datang,” kata Rusni yang pekerjaan sehari-harinya berjualan kue.

Sebagian kue apangi dikemas dan diberi label, khusus untuk pengunjung festival yang ingin membawa pulang kue itu. Sedangkan sebagian lagi disajikan dengan piring, untuk keluarga dan kerabat yang datang ke rumah.

“Bagi kami festival ini adalah saat yang tepat untuk berbagi dan silaturahmi. Gara-gara ada festival ini, sanak saudara yang lama tak berjumpa pun bisa berkumpul sama-sama di rumah kami walaupun hanya sebentar,” kata Karmila.

Momen untuk mempererat kekeluargaan itu juga dirasakan oleh Farida Yusuf (42), warga lainnya yang ikut memeriahkan Festival Apangi.

Ia menyiapkan sekitar 3.000 buah kue yang akan dipajang di posko, untuk berbagi dengan semua keluarganya yang datang berkunjung.

Untuk memanjakan lidah pengunjung, Farida memodifikasi apangi dalam berbagai warna dan rasa yakni original, pandan, durian, dan anggur.

“Tidak hanya untuk keluarga, kuenya juga gratis untuk siapa pun yang mampir ke posko kami. Kami juga menyediakan kue yang dimasak langsung di posko, supaya pengunjung bisa makan apangi yang masih hangat,” katanya.

Wisata Religi

Festival Apangi merupakan tradisi yang digelar oleh warga Dembe 1 setiap malam 10 Muharram tahun Hijriah

Lurah Dembe 1 Rizal Rasyid Baili mengatakan festival ini merupakan yang ketujuh kalinya digelar sejak tahun 2016.

“Semua kue, kemasan, label, hingga tas diproduksi dengan biaya swadaya masyarakat. Kami tidak memaksakan berapa jumlah kue yang disumbangkan setiap warga, sesuai keikhlasan dan kemampuan masing-masing,” kata Rizal.

Pihaknya memprediksi ada lima ratus ribu kue apangi yang diproduksi oleh warga, kemudian disajikan melalui posko-posko di sepanjang tepi jalan raya.

Posko-posko didandani untuk mempertegas nuansa festival. Ada posko yang didesain seperti tenda pesta, pelaminan adat Gorontalo, hingga payung-payung bermeja yang ditata di pekarangan rumah.

Ada enam posko yang dibangun warga untuk melayani pengunjung yang datang. Hampir setiap rumah warga juga terbuka bagi siapa saja yang ingin menyantap apangi, kenal maupun tidak saling kenal.

Slogan Festival Apangi ke-7 menggunakan bahasa Gorontalo yakni “monga (makan), moduhengo (menambah), dan modelo (membawa)”. Artinya, pengunjung dapat makan sepuasnya dan membawa pulang kue apangi sebagai oleh-oleh.

Rizal menjelaskan festival tahun ini sangat dinantikan warga Dembe. Selama dua tahun berturut-turut festival tidak dilakukan besar-besaran, karena pandemi COVID-19.

Menurutnya semangat dari festival ini adalah merayakan tahun baru Islam, yang kemudian berkembang menjadi wisata religi sekaligus wisata kuliner sejak mendapat respon positif dari masyarakat luas.

“Karena itu Festival Apangi ini selalu dikunjungi ribuan warga dan wisatawan, bahkan sampai menimbulkan kemacetan luar biasa,” katanya.

Festival memang baru dibuka pada malam hari, tetapi kemacetan di ruas jalan tersebut sudah terasa sejak sore.

Tokoh masyarakat setempat, Kadar Abubakar (53) mengungkapkan secara turun temurun umat Islam di Dembe 1 yang menggelar doa 10 Muharram di Masjid Quba.

Masjid tersebut berada di puncak bukit, tak jauh dari jalan raya. Masjid ini juga diyakini sebagai makam seorang Raja Ilato yang mendapat julukan sebagai Ju Panggola.

“Selain kami warga Dembe yang menggelar doa di masjid itu, banyak peziarah dari luar kota dan daerah lain yang datang untuk berdoa. Pada momen tersebut, warga menyajikan kue apangi untuk pengunjung,” katanya.

Tradisi tersebut yang melatarbelakangi pelaksanaan Festival Apangi oleh masyarakat setempat.

“Dalam pelaksanaannya mungkin festival ini masih banyak kekurangan, tetapi kami berharap tidak akan mengurangi makna tahun baru Islam dan rasa syukur,” kata Kadar.

Ia meyakini dengan merawat tradisi tersebut, doa-doa akan terus dipanjatkan dan berbuah rahmat dari Yang Maha Kuasa.

 

Kue apangi adalah kue khas yang dihidangkan kepada pengunjung Festival Apangi di Kelurahan Dembe, Kota Gorontalo pada malam 10 Muharram. (FOTO ANTARA/Debby Mano)
 

Baca juga: Festival "apangi" digelar di Gorontalo

Baca juga: Ribuan warga Gorontalo berebut kue walima


Baca juga: Tiliaya, kuliner Ramadhan Gorontalo

 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022