Jakarta (ANTARA) - Seiring dengan meredanya kasus COVID-19, pemerintah mulai mengizinkan sejumlah sekolah menjalankan pembelajaran tatap muka (PTM) dengan syarat penerapan protokol kesehatan (prokes) setelah para siswa menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ) demi mencegah tersebarnya virus corona.

Berdasar fakta di lapangan, PJJ ternyata menimbulkan berbagi permasalahan, mulai dari kejenuhan hingga tekanan yang memicu stres.

Kondisi kecemasan akademik tersebut bila berlangsung terus menerus akan berdampak buruk pada psikologi murid bahkan mengakibatkan learning loss saat PTM dimulai.

Survei yang dilakukan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan menemukan bahwa 70 persen murid yang menjalani PJJ mengalami emosi negatif. Banyaknya tugas yang diberikan tidak sebanding dengan waktu pengerjaannya adalah salah satu pemicu kecemasan pada murid. Hal tersebut dapat memberikan dampak negatif ketika mereka memulai transisi kembali ke sistem PTM.

Baca juga: Tekanan akademis salah satu alasan anak bisa kena gejala depresi

Baca juga: Anak juga bisa stres karena sekolah dari rumah, atasi dengan bermain


Selain itu, emosi negatif ini juga mempengaruhi keseimbangan mental pelajar.

Bukan hanya murid, emosi negatif akibat PJJ juga dapat dialami oleh para guru.

Selama PJJ, guru diharuskan memanfaatkan perangkat elektronik sebagai media pembelajaran. Dalam praktiknya tidak jarang mereka pun mengalami kesulitan dalam mengoperasikan perangkat elektronik tersebut.

Belum lagi jaringan internet yang tidak stabil kerapkali menjadi kendala dalam penyampaian materi. Hal ini tentu saja mengakibatkan penurunan motivasi mengajar sekaligus masalah kecemasan pada guru.

Kepala Bagian Psikologi Klinis Universitas Katholik Atma Jaya,Nanda Rossalia, M.Psi.,Psikolog menuturkan bahwa di awal PTM guru dan sekolah cenderung fokus mengejar materi-materi yang tertinggal selama PJJ. Padahal yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengelola kondisi emosional dan psikologikal murid.

"Kecemasan akademik siswa perlu diatasi dengan peran sinergis dari banyak pihak, tidak hanya dari murid itu sendiri. Guru tentunya memiliki porsi yang signifikan dalam membantu murid mengatasi kecemasannya," kata Nanda dalam webinar Basic Counselling Skill yang diselenggarakan oleh Cetta Satkaara dan Rumah Guru BK (RGBK) pada Sabtu (20/11).

Para guru harus sigap melihat gejala gejala emosi negatif dengan melakukan konseling secara efektif, kata Nanda.

"Jadi lihat dan tes dahulu bagaimana kondisi murid-muridnya," kata Nanda.

Senada dengan Nanda, Founder Rumah Guru BK (RGBK) dan Widyaiswara PPPPTK Penjas dan BK di Kemendikbud Ristek, Ana Susanti, M.Pd.CEP, CHt mengatakan bahwa mengatasi kecemasan anak didik penting dilakukan guna melancarkan kegiatan belajar mengajar ke depannya.

"Jika peserta didik merasa senang menerima pembalajaran kita, 85 persen dari ingatannya bisa bertahan lebih lama dibandingkan dengan peserta didik yang tidak menerima kenyamanan dar gurunya," kata Ana yang menambahkan bahwa kenyamanan bisa diberikan para guru melalui sebuah ketrampilan counselling skill.

Basic counselling skill, kata Ana, perlu diberikan kepada seluruh tenaga pendidik, bukan hanya kepada guru bimbingan dan konseling (BK) karena pada kenyataannya menurut data Kemendikbud Ristek, 36 persen atau sekira 12.000 guru dari 33.000 guru BK bukan berlatar belakangkan pendidikan non-BK.

"Enam persen atau 2000 orang memang sudah diberi diklat jenjang dasar Penjas dan BK Kemendikbud Ristek."

Baca juga: Atasi kecemasan orang tua dan anak saat PTM dengan "ADAPTASI"

Baca juga: Psikolog minta orang tua tidak tularkan kecemasan pada anak

Baca juga: Kecemasan kerap hantui para ayah "baru"


Halaman selanjutnya: Kecemasan akademik

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021