kunci dalam peningkatan ekonomi dan dapat menjadi resolusi konfik
Jakarta (ANTARA) - Perhutanan Sosial dan keberadaan masyarakat adat berperan dalam mewujudkan pengendalian perubahan iklim dan mencapai target Forest and Land Use (FoLU) Net Sink 2030.

"Perhutanan Sosial memegang peran penting dalam kontribusi (pengendalian) Perubahan Iklim dan Net Sink FOLU 2030, karena berbasis grass root management dan forest management," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Masyarakat, ujar dia, akan memperoleh manfaat dari sana sehingga akan menjaga hutan sekaligus turut berperan dalam penyerapan karbon. "Perhutanan Sosial juga merupakan kunci dalam peningkatan ekonomi dan dapat menjadi resolusi konflik," katanya.

Baca juga: Menteri LHK: Partisipasi komunitas di kehutanan terus ditingkatkan
Baca juga: Realisasi perhutanan sosial capai 4,7 juta ha sampai Agustus 2021

Peran Perhutanan Sosial dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim dapat muncul melalui konservasi hutan dan penghidupan masyarakat sekitar, mengingat jutaan masyarakat menggantungkan kehidupannya pada hutan.

Menurut Bambang, capaian distribusi akses Perhutanan Sosial saat ini adalah 4,8 juta hektare (ha) di 33 provinsi dari target nasional 12,7 juta ha.

Dari jumlah tersebut, capaian hutan adat seluas 1,1 juta ha. Penetapan hutan adat ini, ditujukan untuk memberikan ruang hidup bagi masyarakat adat, dan melindungi hak-hak adat dan kearifan lokal dalam menjaga hutan, ujar dia.

Ia mengatakan kontribusi praktik pengelolaan Perhutanan Sosial mendukung pengendalian perubahan iklim dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi melalui pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan emisi dari degradasi hutan, konservasi stok karbon hutan, manajemen hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan.

Baca juga: KLHK dorong akses perempuan dalam pengelolaan perhutanan sosial
Baca juga: Perempuan masih hadapi tantangan dalam pengelolaan perhutanan sosial

Perhutanan Sosial untuk pertama kalinya termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi dapat dilakukan dengan Perhutanan Sosial, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Kolaborasi internasional dan kehadiran para pendamping, champion lokal dalam kepemimpinan dan pendampingan Perhutanan Sosial dan Hutan Adat juga memegang peranan penting dalam keberhasilan Perhutanan Sosial, dan implementasinya dalam pencapaian Indonesia Net Sink FoLU 2030 termasuk peran perempuan.

Dalam project Strengthening of Social Forestry (SSF) sebagai salah satu contoh keterlibatan internasional melalui Global Environment Facility (GEF) merupakan contoh nyata kerja sama dengan target emisi 9,2 metrik ton karbon dioksida (MtCO2) melalui kegiatan–kegiatan Perhutanan Sosial.

Salah satu bentuk pendampingan nyata adalah sekolah lapang dalam peningkatan kapasitas masyarakat adat yang dilakukan oleh Koalisi Hutan Adat.

Agung Wibowo dari Koalisi Hutan Adat mengatakan pentingnya memasukkan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional diintegrasikan dalam sistem pendidikan nasional.

Baca juga: Petani: Konsep perhutanan sosial dorong ekonomi bergerak dari bawah

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021