Penyusunan RUU ini memang memiliki tujuan untuk memperbaiki aturan perpajakan, memperluas basis pajak, dan meningkatkan kepatuhan agar tercipta penerimaan pajak yang berkelanjutan. ...
Jakarta (ANTARA) - Reformasi perpajakan mendesak dilakukan meskipun di tengah proses pemulihan ekonomi dari dampak pandemi COVID-19, agar pendapatan perpajakan dapat meningkat sehingga defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dapat mengarah ke bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Pemerintah akan mereformasi perpajakan baik dari sisi kebijakan maupun administrasi. Dari sisi kebijakan, pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang ditargetkan selesai pada 2022.

RUU KUP tersebut berisi perubahan materi UU KUP, perubahan materi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Cukai, dan pengenaan pajak karbon.

“Penyusunan RUU ini memang memiliki tujuan untuk memperbaiki aturan perpajakan, memperluas basis pajak, dan meningkatkan kepatuhan agar tercipta penerimaan pajak yang berkelanjutan. Diharapkan di tahun 2023 sudah bisa kita jalankan sehingga defisit dapat kembali ke bawah 3 persen,” kata Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo beberapa waktu lalu.

RUU KUP juga diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang pada tahun 2019  baru mencapai 9,76 persen.

Menurut Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama, rasio pajak Indonesia semestinya telah mencapai 14,4 persen dari PDB. Nilai ini realistis karena sudah dikurangi potensi pajak tidak tergali sebesar 3,6 persen atau 20 persen dari rasio pajak Indonesia yang seharusnya 18 persen.

Pemerintah pun berkehendak menutup jarak 4,9 persen dengan memperbaiki aturan perpajakan yang diharapkan lebih adil. Hal ini antara lain tampak dari bagaimana pemerintah berencana menambah lapisan tarif penghasilan kena pajak, dimana orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp5 miliar akan dikenakan tarif PPh Orang Pribadi sebesar 35 persen.

Di samping itu, karena banyaknya perusahaan yang diduga mengaku mengalami kerugian hanya untuk menghindar dari kewajiban membayar PPh Badan, pemerintah berencana membentuk instrumen pencegahan penghindaran pajak atau General Anti Avoidance Rule (GAAR) .

Baca juga: DJP: Indonesia baru pungut 66,58 persen dari total potensi PPN

Pemerintah juga akan mengenakan alternative minimum tax, dimana perusahaan wajib membayar membayar PPh yang tidak boleh kurang dari 1 persen dari penghasilan bruto. Namun demikian, perusahaan yang belum berproduksi komersial, perusahaan rintisan, dan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan insentif tidak akan ditarik pajak ini.

Sementara itu, pemerintah berencana mengubah tarif PPN menjadi lebih dari satu atau multi tarif. Tarif PPN umum diubah dari 10 persen menjadi 12 persen, yang masih lebih rendah dari tarif PPN negara BRICS sebesar 17 persen dan negara OECD sebesar 19 persen.

Untuk barang pangan dasar yang dikonsumsi masyarakat banyak, pemerintah hanya akan mengenakan tarif 5 persen agar harga pangan tetap terjangkau.

Sementara itu, jasa pendidikan dan angkutan penumpang hanya dikenakan tarif PPN sebesar 7 persen. Dana dari pemungutan PPN rencananya akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pada kedua sektor tersebut.

Tarif PPN 15 sampai 25 persen dikenakan pada barang yang tergolong mewah dan sangat mewah, seperti rumah mewah, apartemen mewah, pesawat terbang, yacht, sepatu, dan jam tangan berharga mewah lain. Barang-barang ini biasanya hanya dibeli oleh kelompok menengah ke atas sehingga tarifnya pun lebih tinggi.

Baca juga: Ini tantangan penarikan Pajak Penghasilan di Indonesia menurut DJP

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendukung langkah pemerintah meneruskan reformasi perpajakan. Namun, pemerintah harus melakukannya dengan cara yang tepat agar tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19.

Menurut Bhima, reformasi perpajakan perlu diarahkan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antara kelompok masyarakat kelas atas dan bawah yang semakin lebar di tengah pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, ia mendukung penambahan lapisan tarif PPh OP. Malah pemerintah perlu mengenakan tarif PPh sampai 45 persen bagi OP dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.

Apabila UU ini diterapkan, pemerintah tidak perlu lagi menarik PPN untuk kebutuhan pokok, sekalipun kebutuhan pokok yang direncanakan kena PPN hanya yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke atas.

Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyarankan agar penerapan RUU KUP sejalan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.

Menurutnya, apabila tidak diterapkan secara hati-hati, RUU KUP bisa membuat pelaku usaha merasa terbebani dengan pemungutan perpajakan dan enggan berinvestasi di Indonesia. Menurutnya, pemerintah mesti memberikan insentif kepada industri berorientasi ekspor yang menciptakan produk bernilai tambah tinggi.

Selain untuk menambah cadangan devisa, industri berorientasi ekspor mesti didorong karena pasar negara tujuan ekspor pulih lebih cepat dibandingkan pasar dalam negeri.

"Kita harus tahu pemulihan di negara maju mitra dagang kita jauh lebih cepat dari Indonesia saat ini. Jadi kalau kita mau mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus juga menciptakan nilai tambah untuk devisa dan untuk masyarakat, ya salah satunya dengan memberi insentif ke industri berorientasi ekspor," ucapnya.

Baca juga: DJP: Reformasi perpajakan untuk capai rasio pajak 14,4 persen PDB


Menimbang Kesanggupan Masyarakat

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo memastikan penerapan RUU KUP tidak akan memberatkan pelaku usaha maupun masyarakat pada umumnya. RUU KUP juga akan sejalan dengan penerapan Undang-Undang Cipta Kerja yang menjanjikan kemudahan bagi pelaku usaha.

"Komitmen Kementerian Keuangan dan pemerintah adalah beberapa pasal yang berpotensi beririsan dengan pertumbuhan ekonomi akan menunggu ekonomi pulih dan berada di level yang stabil," ucap Prastowo.

Terkait rencana penambahan bahan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Prastowo mengatakan pemerintah melakukannya untuk mendaftarkan barang dan jasa tersebut ke dalam sistem perpajakan. Hal ini dilakukan agar nantinya dana dari pemungutan PPN ini bisa digunakan untuk membuat kualitas suatu pelayanan atau produk lebih merata.

"Jadi pertama-tama untuk perbaikan administrasi, maka kami mendengarkan pelaku, bagaimana instrumen pajak bisa digunakan untuk mendorong jasa pendidikan yang in line, yang sesuai dengan visi-misi pendidikan untuk mengafirmasi mereka yang tidak mampu," imbuhnya.

Baca juga: Pengusaha ritel minta pemerintah tinjau ulang usulan kenaikan pajak

Pembahasan RUU KUP terus dilakukan oleh pemerintah untuk merumuskan pemungutan perpajakan yang lebih adil. Menurut Prastowo, pemerintah sudah menyelenggarakan 10 putaran Focus Group Discussion (FGD) terkait RUU ini.

Pemerintah juga melakukan reformasi administrasi perpajakan, antara lain dengan pembaharuan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax. Sistem administrasi perpajakan yang baru ini diharapkan dapat digunakan mulai 2024 mendatang.

Dengan sistem ini, perpajakan dengan kebijakan yang baru diharapkan dapat dipungut dengan lebih adil, mudah, dan efisien. Rencana konsolidasi fiskal demi mengembalikan defisit APBN ke bawah 3 persen dari PDB pun dapat tercapai.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021