Jakarta (ANTARA) - Penyidik KPK nonaktif Novel Baswedan menilai pimpinan KPK tidak punya niat untuk memperjuangkan pegawai setelah mengajukan surat keberatan terhadap Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia.

"Apakah kita bisa memahami pimpinan KPK berkata jujur ketika mengatakan bahwa benar mau memperjuangkan kepentingan pegawai KPK agar tidak ada yang dirugikan, bahwa mereka berkepentingan untuk menjaga kepentingan pegawai KPK? Saya melihatnya semakin jauh dan suatu perkataan yang tidak ada faktanya sama sekali," kata Novel dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat.

Pada Kamis (5/8), Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan bahwa KPK melayangkan surat keberatan kepada Ombudsman atas LAHP yang berisi temuan malaadministrasi dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam proses tersebut, sebanyak 75 orang pegawai dari 1.351 orang pegawai yang mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dinyatakan tidak lulus. Lebih lanjut setelah ada rapat koordinasi, pimpinan KPK menyatakan masih ada 24 orang yang bisa menjadi ASN dengan melakukan pelatihan lebih dulu, hal itu disebut Ghufron sebagai bentuk pimpinan KPK memperjuangkan nasib pegawainya.

"Dari hasil pemeriksaan Ombudsman menggambarkan dengan terang benderang bahwa banyak permasalahan yang terjadi, ada permasalahan serius soal integritas, masalah manipulasi di lembaga antikorupsi tentu aib yang besar sekali," ungkap Novel.

Baca juga: Akademisi sebut KPK tak membantah langgar administrasi atau tidak
Baca juga: 13 poin keberatan KPK atas hasil pemeriksaan Ombudsman
Baca juga: KPK: BKN disebut tak kompeten laksanakan TWK bertentangan dengan hukum


Namun Novel menyebut pimpinan KPK tidak mempermasalahkan integritas seperti yang ditunjukkan dalam temuan Ombudsman.

"Saya melihatnya pimpinan KPK kok tidak terganggu ya, ini sebetulnya adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa bahkan justru pembelaan yang disampaikan pimpinan saya melihatnya kok malah seperti menghindar saja," tambah Novel.

Novel pun meminta agar pimpinan KPK mengingat bahwa KPK bukanlah lembaga miliknya pribadi.

"Saya berharap kita semua mesti memahami bahwa lembaga antikorupsi, KPK, itu bukan miliknya Pak Firli dan kawan-kawannya itu melainkan milik negara, milik masyarakat, dan kita berharap bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh KPK yang diberikan mandat oleh negara untuk berbuat yang baik yang benar," jelas Novel.

Saat masalah integritas tidak dijadikan prioritas dan kejujuran diabaikan, menurut Novel, maka ada masalah yang tidak bisa dianggap sepele.

"Karena itu saya berharap temuan Ombudsman ini bisa dijadikan suatu telaah yang baik yang melihat bahwa upaya-upaya untuk menyingkirkan dan melemahkan KPK dengan cara begini harus dilihat sebagai hal yang serius dan semoga ke depan kita bisa mengetahui dengan lebih jelas siapa dibalik orang-orang yang punya kepentingan ini semua," kata Novel.

Dalam pernyataan resminya, Ombudsman RI meminta pimpinan dan Sekjen KPK melakukan empat tindakan korektif yaitu pertama, memberikan penjelasan kepada pegawai KPK soal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk dokumen yang sah.

Kedua, terhadap 75 pegawai yang dinyatakan TMS diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Ketiga, hasil TWK menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan dan tidak serta merta menjadi dasar pemberhentian 75 orang pegawai.

Keempat, dengan adanya maladministrasi dalam proses penyusunan Peraturan KPK No 01 tahun 2021, proses pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK maka terhadap 75 pegawai agar dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.

Ombudsman juga memberikan empat saran perbaikan kepada Presiden Jokowi bila langkah-langkah korektif untuk KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak diindahkan.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021