Jakarta (ANTARA) - Kementerian Komunikasi dan Informatika menjadi salah satu dari tiga kementerian yang menjadi tim pelaksana kajian Undang-Undang Transaksi Elektronik atau UU ITE.

"Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Kominfo dan Kementerian Hukum dan HAM akan mengambil langkah-langkah,” kata Menteri Kominfo Johnny G. Plate, dalam keterangan resmi, Senin.

Tiga kementerian, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Kementerian Kominfo; dan Kementerian Hukum dan HAM menjadi Tim Kajian Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang lebih dikenal sebagai UU ITE.

Baca juga: Clubhouse wajib daftar ke Kominfo untuk jaga ruang digital Indonesia

Baca juga: Situs porno paling banyak diblokir Kominfo


Tim Kajian UU ITE dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkopolhukam Sugeng Purnomo. Tim ini juga terdiri dari Sub Tim I, dijabat oleh Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Kominfo Henri Subiakto dan Widodo Ekatjahjana sebagai Ketua Sub Tim Kemenkumham.

Kominfo akan menangani kajian dan pedoman pelaksanaan UU ITE untuk Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29.

"Pedoman pelaksanaan undang-undang ITE ini bukan norma hukum baru. Jangan sampai keliru ditafsirkan seolah-olah membuat satu tafsiran terhadap undang-undang, karena sudah jelas penjelasan atas undang-undang sudah ada di bagian penjelasan undang-undang, dan penafsiran akhir dalam pelaksanaan judicial system kita bagi masyarakat pencari keadilan adalah menjadi kewenangan hakim," kata Johnny.

Pedoman Pelaksanaan UU ITE dibuat sebagai acuan bagi penegak hukum dalam menangani sengketa yang berhubungan dengan undang-undang tersebut dan menindaklanjuti ketika UU ITE disengketakan.

Mengenai sejumlah pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir atau pasal karet, Johnny menyatakan pihak yang keberatan pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"Kurang lebih sebanyak 10 kali dan mendapatkan penolakan. Namun demi manfaat untuk kehidupan bermasyarakat dan kehidupan sosial, maka terbuka selalu kemungkinan dalam rangka menambah, mengurangi, mengubah untuk penyempurnaan undang-undang itu sendiri," kata Johnny.

Era transformasi digital membutuhkan regulasi yang bisa menjaga dan mengawal ruang digital agar digunakan untuk hal-hal yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.

"Masyarakat kita telah bertransformasi dari phyical space ke digital space, karenanya payung-payung hukum yang menyangkut tata kelola kehidupan kemasyarakatan tidak saja di dalam ruang-ruang fisik, tetapi juga di dalam ruang ruang," kata Johnny.

Johnny menyatakan pemerintah akan melibatkan komponen masyrakat, akademisi, lingkungan kerja kementerian dan lembaga juga awak media untuk memberikan masukan terhadap pedoman pelaksanaan ini.

Baca juga: Cara tangkal hoaks vaksinasi COVID-19 ala Siberkreasi

Baca juga: Literasi digital penting bagi keberlangsungan PJJ

Baca juga: Kominfo rilis 15 nama calon anggota Dewan Pengawas RRI

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021