Pemerintah lebih cermat dalam menentukan negara prioritas
Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi DPR RI Bukhori Yusuf mengingatkan Pemerintah untuk lebih cermat menentukan daftar delapan negara yang menjadi subjek pelayanan 'Calling Visa'.

Kecermatan itu, menurut Bukhori, untuk menjaga wibawa dan integritas Republik Indonesia dalam percaturan politik global terutama yang berkaitan dengan isu Palestina.

"Saya mengingatkan supaya Pemerintah lebih cermat dalam menentukan negara prioritas dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepercayaan rakyat Indonesia dan umat muslim dunia, terhadap komitmen Indonesia untuk menjadi bangsa yang terdepan dalam membela nilai perikemanusiaan dan perikeadilan bagi bangsa Palestina,” ujar Bukhori dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Menurut Bukhori, Indonesia sudah sejak lama memiliki garis politik luar negeri yang tegas terhadap isu konflik Israel dengan Palestina.

Lebih lanjut, anggota Komisi VIII DPR RI itu menilai kebijakan pemberian pelayanan 'Calling Visa' untuk warga negara Israel dapat dinilai kontradiktif dengan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang secara tegas mendukung hak warga negara Palestina.

Sikap tegas tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 23 September 2020 silam.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya.

“Pertanyaannya adalah, apakah Presiden mengetahui tindakan anak buahnya (Kementerian Hukum dan HAM) tersebut. Saya justru curiga bahwa tindakan ini dilakukan sepihak tanpa sepengetahuan Presiden bila mengacu pada sikap dukungan yang telah Presiden tunjukkan selama ini terhadap isu Palestina,” kata Ketua Badan Pembinaan dan Pengembangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu pula.

Tetapi, jika ternyata keputusan tersebut sudah mendapat restu dan sepengetahuan Presiden Jokowi, menurut Bukhori, sikap tersebut bertentangan dengan komitmen para pendiri (founding fathers) Republik Indonesia bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.

"Konsekuensi politik dari membuka hubungan dengan Israel berarti mengakui eksistensi negara tersebut. Artinya, Pemerintah mengakui penjajahan Israel kepada Palestina yang sampai saat ini belum merdeka sepenuhnya,” kata Bukhori.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Kepala Bagian Humas dan Umum Arvin Gumilang menginformasikan bahwa akan ada pembukaan pelayanan visa elektronik (e-Visa) bagi warga delapan negara subjek calling visa pada Senin (23/11).

Selain Israel, tujuh negara lainnya adalah Afghanistan, Guinea, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia.

Arvin mengatakan negara calling visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian

Adapun berdasarkan informasi yang dihimpun, pemberian "calling visa" kepada WNA Israel sebenarnya telah diberikan sejak 2012 berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2012.
Baca juga: Soal tolak "calling visa" Israel, Gus Yaqut: Jangan sekadar gaduh
Baca juga: Kemenkumham pastikan permohonan Calling Visa diawasi ketat

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020