UU Nomor 13 Tahun 2010 yang diperjelas dengan PP 44/2016, membatasi kepemilikan asing hanya 30 persen, termasuk pada pembibitan, jasa, hingga pariwisata yang berhubungan dengan hortikultura
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Donny Pasaribu menyatakan bahwa investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) di sektor pertanian masih relatif tertutup karena sejumlah regulasi yang dinilai membatasi.

Berdasarkan data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), indeks ketertutupan Indonesia terhadap investasi di sektor pertanian berada di angka 0,389, dari skala 0=terbuka hingga 1=tertutup.

Data OECD juga menunjukkan bahwa tingkat ketertutupan terhadap Penanaman Modal Asing (PMA), khususnya pada sektor pertanian atau agrikultur, semakin meningkat, yakni dari 0,294 pada 1997 menjadi 0,364 pada 2018. Salah satu regulasi yang dinilai menghambat yakni pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2020 tentang Hortikultura.

Baca juga: Tingkatkan ketahanan pangan, investasi pertanian harus digenjot

"UU Nomor 13 Tahun 2010 yang diperjelas dengan PP 44/2016, membatasi kepemilikan asing hanya 30 persen, termasuk pada pembibitan, jasa, hingga pariwisata yang berhubungan dengan hortikultura," kata Donny dalam webinar yang diselenggarakan CIPS, Selasa.

Donny menjelaskan dampak dari investasi asing yang restriktif atau tertutup dapat membuat produsen pertanian domestik, khususnya hortikultura, kehilangan akses terhadap bibit yang berkualitas.

Di sisi lain, produsen bibit skala global hanya sedikit. Setidaknya 60 persen produksi bibit di seluruh dunia, dikuasai oleh 3 perusahaan multinasional skala global. Oleh sebab itu, penanaman modal asing diperlukan, mengingat pasar bibit yang sangat terkonsentrasi.

Selain itu pembatasan investasi asing juga akan berdampak pada kegiatan riset dan litbang bagi produsen bibit domestik untuk mempelajari cara berinovasi menghasilkan bibit berkualitas.

Baca juga: Peneliti: UU Cipta Kerja buka peluang tingkatkan investasi pertanian

"Kalau kita ingin meningkatkan produktivitas, meningkatkan kualitas produk, sangat membutuhkan akses bibit ini," kata Donny.

Menurut dia, relaksasi PMA di sektor pertanian dalam Undang-Undang Cipta Kerja idealnya dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas, salah satunya komoditas hortikultura yang konsumsinya dalam negeri cukup tinggi dan terus meningkat.

Ia mencontohkan data BPS 2019 menunjukkan konsumsi bawang putih oleh rumah tangga di Indonesia pada  2019 mencapai 484.000 ton.  Sementara ekspor bawang putih pada tahun itu tumbuh 71,76 persen dibandingkan 2018. Angka ini, kata dia, termasuk sangat pesat dibandingkan dengan pertumbuhan impor 7,76 persen.

Baca juga: Peneliti sebut investasi sektor pertanian masih minim
 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020