Kudus (ANTARA News) - Komisi XI DPR RI meminta pemerintah meninjau ulang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Produk Tembakau, karena antar kementerian berbeda pendapat soal rokok dan tembakau.

"Selama ini, sejumlah kementerian yang berkepentingan terhadap industri rokok dan tembakau belum sinkron," kata Anggota Komisi XI DPR RI, Nusron Wahid, usai melakukan kunjungan kerja bersama rombongan di PT Djarum Kudus, Rabu.

Ia mencatat, dari empat kementerian yang ada, yakni Kementerian Pertanian, Perindustrian, Badan Kebijakan Fiskal pada Kementerian Keuangan, dan Kesehatan belum memiliki pendapat yang sama.

Misal, pada Kementerian Pertanian, katanya, memasukkan komoditi tembakau sebagai komoditi unggulan, tetapi Kementerian Industri menganggap industri rokok, tembakau dan bahan makan merupakan salah satu dari 10 industri unggulan.

Sementara Kementerian Kesehatan dengan Badan Kebijakan Fiskal menyatakan industri rokok dan tembakau harus sunset industry karena memiliki ekstradisi terbesar terhadap lingkungan.

"Artinya, dari empat Kementerian tersebut terdapat dua pendapat yang berbeda atau kami istilahkan masing-masing memiliki skor 2-2," ujarnya.

Menurut dia, dampak RPP tentang Pengendalian Produk Tembakau tidak hanya berdampak pada petani, tetapi sektor industri pada bagian hilirnya juga ikut terkena dampak.

"Dampak utama pada industri rokok yakni terkait dengan nasib para pekerja. Selain itu, ada multiplayer efek pada ekonomi sekitarnya juga berdampak negatif. Persoalan ini baru saja dibahas pada kunjungan kerja kali ini," ujarnya.

Tetapi, kata dia, hal terpenting adalah adanya perencanaan nasional secara matang, mengingat antar kementerian tidak ada kesamaan pendapat.

"Kondisi demikian tentu mengundang pertanyaan, pemerintah ini maunya apa. Seharusnya, pemerintah memiliki political will karena ada empat kementerian yang berkepentingan terkait rokok dan tembakau tetapi berbeda pendapat," ujarnya.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus tegas dalam memilih petani, industri rokok dan buruh, kesehatan atau kebijakan fiskal.

Selama ini, kata dia, sektor rokok menyumbang sekitar 2,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB) yang mencapai angka Rp6.000 triliun.

"Kalau dijumlahkan bisa mencapai Rp130 triliun lebih," ujarnya.

Ia mengatakan, semua pihak harus kompak, antara wakil rakyat, pengusaha, pemerintah, petani untuk mendudukan secara proporsional supaya perencanaannya jelas. "Bukan seperti ini, terjadi tarik menarik antar kementerian," ujarnya.

Selain itu, dia juga mempertanyakan, kesiapan pemerintah menampung buruh rokok yang menganggur dan mencarikan alternatif komoditi lain yang harus ditanam petani.

"Perlu dicatat, merubah kebiasaan petani tembakau tidak mudah, karena kebiasaan petani menanam tembakau diperoleh secara turun temurun. Jika diminta pindah menanam jagung atau ketela tentu sulit," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng mengatakan, kedatangannya ke Kudus bersama rombongan anggota dewan yang berjumlah sekitar 20 orang untuk menjaring aspirasi terhadap sejumlah pihak yang terlibat dalam RPP Tembakau tersebut.

"Kami meminta masukan yang lebih jelas. Pasalnya, Undang-Undang terkadang tidak bisa mengakomodir semua pihak karen pihak yang terlibat tidak pernah menyuarakan," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, anggota Komisi XI DPR RI melakukan kunjungan kerja ke daerah untuk meminta aspirasi industri rokok, untuk dijadikan bahan masukan pada saat pembahasan di panitia keja. "Selain itu, industri rokok juga bisa diundang untuk menyampaikan pendapatnya," ujarnya.

(ANT/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010