Ini bagian dari kearifan lokal baru yang dibangun oleh masyarakat untuk merespons perubahan ekosistem gambut
Jakarta (ANTARA) - Badan Restorasi Gambut (BRG) menyatakan sejak 2017 telah mencari jawaban untuk mencari solusi pembukaan lahan gambut tanpa membakar, salah satunya melalui sekolah lapang.

Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan (ESPK) BRG Myrna A. Safitri di Jakarta, Sabtu, mengatakan inovasi membuka lahan tanpa bakar ini telah didiskusikan dengan ahli dari perguruan tinggi.

"Ini bagian dari kearifan lokal baru yang dibangun oleh masyarakat untuk merespons perubahan ekosistem gambut yang ada dan kebijakan penegakan hukum," ujarnya melalui keterangan tertulis.

BRG, lanjutnya, sejak 2017 juga mengenalkan paralegal di Desa Peduli Gambut kepada masyarakat yang tinggal di sekitar gambut.

Myrna mengatakan tujuan paralegal ini untuk memberikan bantuan hukum nonlitigasi dan edukasi hukum kepada masyarakat. Hingga 2019 sudah ada 759 paralegal di tujuh provinsi yang menjadi fokus restorasi BRG.

"Hampir tiga tahun terakhir 152 kasus hukum yang didampingi paralegal. Kasus sebagian besar terkait lingkungan dan pertanahan," kata dia.

Selain edukasi hukum, menurut dia, sekolah lapang juga memberikan pendampingan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mana saat ini ada 1.019 kader dengan mengembangkan areal uji coba alami pada 265 demonstration plot (demplot).

"Ini menunjukkan pemerintah desa memberikan APBDes untuk kegiatan pertanian yang ramah ekosistem gambut," ujar dia.

Myrna menyebutkan dalam uji coba yang terus dilakukan petani selama dua tahun terakhir, di beberapa tempat para petani sudah memetik hasilnya tanpa merusak lingkungan.

Sebelumnya Direktur Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tommy Indyan menyatakan tantangan mencegah kebakaran hutan tidak saja pada persoalan teknis namun ada wilayah kebudayaan yang hinggap dalam diskursus ini.

Salah satunya mengenai kebiasaan masyarakat adat yang secara turun temurun membuka lahan dengan cara membakar

Menurut dia, cara membakar lahan bagi masyarakat adat sudah diatur dalam pasal 69 ayat 1 dan 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

"Di aturan itu, pembukaan hutan dengan cara dibakar masih diizinkan dengan memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing," katanya dalam webinar yang digelar Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas.

Tetapi, kata dia, dua pasal itu dilebur dalam RUU Cipta Kerja, sehingga, konstruksi hukumnya dikacaukan.

Sementara itu, peneliti muda PUSaKO Universitas Andalas, Hemi Lavour Fernandez mengatakan, persoalan pembakaran untuk membuka lahan ini masih menyasar individu masyarakat adat, bukan korporasi.

"Mustahil pembakaran lahan yang berhektare-hektare ini dilakukan masyarakat adat atau individu satu dua orang," kata Hemi.

Baca juga: BRG lakukan restorasi gambut melalui revitalisasi ekonomi warga
Baca juga: BRG terus perkuat ekonomi warga sekitar, cegah kebakaran lahan
Baca juga: Hutan adat bagus untuk pemanfaatan berkelanjutan lahan gambut

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020