Makassar (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Selatan dibatasi akses untuk ikut mengawasi isi dokumen pelaksanaan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) pemutakhiran data pemilih, menyusul dikeluarkannya keputusan KPU RI, nomor 335/HK.03.1-Kpt/06/KPU/VII/2020, ter tanggal 17 Juli 2020.

"Dengan tidak diberikannya akses untuk memperoleh data A.KWK (data pemilih) kepada pengawas, maka secara subtansi dan isi dari A.KWK tersebut, tidak dapat diawasi maksimal," ungkap Komisioner Bawaslu Sulsel Saiful Jihad di Makassar, Sabtu.

Keputusan KPU RI tersebut menjelaskan bahwa A.KWK adalah informasi yang dikecualikan terbatas dan hanya diberikan kepada lembaga atau instansi atas izin Kemendagri, kemudian diperkuat dengan terbitnya Surat KPU nomor 576/tahun 2020 tertanggal 21 Juli 2020.

Aturan ini secara rinci menjelaskan larangan bagi KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPDP untuk memfoto, memindai, menggandakan A.KWK, termasuk menyalin dalam bentuk data lunak (soft file) dan memberikan kepada pihak lain.

Baca juga: Bawaslu Makassar gandeng LSM bantu pengawasan partisipatif

Namun demikian, berdasarkan Undang-undang nomor 10 tahun 2016, pasal 30 huruf a, menyebutkan bahwa Bawaslu kabupaten atau kota mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilihan, dan pada angka 2 pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga Daftar Pemilih Sementara (DPS).

Dengan begitu, lanjutnya, pengawas desa atau kelurahan hanya dapat mengawasi proses Coklit yang dilakukan oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang saat itu menjadi obyek pengawasan.

Hal ini dikarenakan formulir A.KWK yang berisi daftar pemilih berbasis TPS tidak diberikan kepada pihak Bawaslu, sehingga membuat pengawas desa dan kelurahan yang ditugasi melaksanakan pengawasan terhadap tahapan pemutakhiran data, sub tahapan Coklit, tidak bisa mencermati data pemilih yang ada di A. KWK untuk dicocokkan dengan fakta di lapangan.

Selain itu, setiap desa atau kelurahan, katanya, hanya ditempatkan satu orang pengawas, sementara setiap desa atau kelurahan terdapat banyak PPDP yang melakukan Coklit berbasis TPS.

Saiful mencontohkan jika satu desa terdiri dari 15 TPS, maka ada 15 PPDP yang melakukan tahapan Coklit.

Baca juga: Bawaslu sebut Makassar masuk Indeks Kerawanan Politik

Menurut dia, hal ini penting sampaikan agar masyarakat benar-benat bisa aktif ikut memastikan pelaksanaan Coklit data pemilih dapat diawasi bersama. Apabila ada petugas datang, maka diharapkan benar-benar melakukan tugasnya dengan baik mencocokkan kembali data di A.KWK sesuai dengan yang sebenarnya.

Dan jika ada masyarakat yang merasa tidak didatangi, agar dapat menyampaikan kepada Bawaslu atau Panwascam dan pengawas desa atau kelurahan yang juga membuka posko pengaduan pemilih.

Pihaknya sepakat, data pemilih mesti akurat, konorehensi, mutakhir menjadi syarat sebuah data pemilih yang baik dan berkualitas. Tetapi, akan sulit diwujudkan jika tidak dilakukan secara transparan, dimana semua pihak bisa menjamin dan menyaksikan proses Coklit itu.

"Kalau proses ini dilakukan tidak transparan, maka ruang-ruang kekhawatiran bahkan kecurigaan bisa mengganggu upaya kita untuk melindungi dan menjaga hak konstitusi warga, hak pilih warga, termasuk clean dan clearnya data pemilih yang dihadirkan," harapnya.

Dikonfirmasi terpisah, Komisoner KPU Makassar Gunawan Mashar membenarkan bahwa data pemilih atau A.KWK adalah bersifat rahasia dan tidak diperbolehkan di gandakan atau diberikan salinan kepada Bawaslu.

"Tidak boleh. Karena sudah ada aturannya. KPU kabupaten dan kota tidak punya kewenangan mendistribusikan salinan data penduduk. Rujukannya jelas di Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2019," kata mantan Ketua AJI Makassar ini.

Baca juga: Sulsel dominasi Bawaslu Award 2019

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020