berharap ini dipahami oleh masyarakat
Tanjungpinang (ANTARA) - Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Kepulauan Riau membantah isu adanya bisnis dibalik kebijakan pemeriksaan cepat melalui rapid test.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kepri, Tjetjep Yudiana, di Tanjungpinang, Rabu, menegaskan, biaya rapid test atau tes cepat yang ditetapkan di Rumah Sakit Raja Ahmad Thabib (RSUP Kepri) sekitar Rp400.000 bukan untuk kepentingan bisnis, melainkan sesuai dengan prosedur.

Harga satu paket alat tes cepat antibodi yang dipergunakan sekitar Rp200.000, namun perlu ditambah biaya lainnya seperti alat pelindung diri yang dipergunakan tenaga kesehatan saat memeriksa orang membutuhkan orang surat bebas COVID-19 untuk ke luar kota.

Alat tes cepat itu diimpor dari negara lain, namun Tjetjep tidak menyebutkan asal negara yang memproduksi alat tersebut. Sementara harga alat tes cepat Rp70.000 merupakan produk nasional, yang belum beredar luas.

Baca juga: Komisi IX DPR-RI sebut 'rapid test' masih dibutuhkan
Baca juga: Anggota Ombudsman RI tanggapi batasan tarif "rapid test" oleh Kemenkes


Pemprov Kepri sendiri sudah memesan alat tes cepat produk nasional, namun belum ada kepastian pengiriman ke Kepri.

"Biaya pemeriksaan rapid test antibodi tidak dapat dihitung hanya berdasarkan harga pembelian rapid test, melainkan juga dibebani dengan biaya pengadaan alat pelindung diri," katanya.

Tjetjep mengemukakan biaya tes cepat hanya dikenakan kepada orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk ke luar daerah. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak mungkin dapat menanggung biaya tes cepat untuk masyarakat yang memiliki kepentingan pribadi ke luar daerah karena anggaran yang dibutuhkan terlalu besar.

Namun tes cepat terhadap orang-orang yang ke luar daerah dalam urusan kedinasan untuk kepentingan pemerintah dan negara maupun sekolah tidak dikenakan biaya.

Sebagai contoh, santri yang ke luar dengan tujuan ke pondok pesantren, tidak dikenakan biaya. Tujuan pemerintah yakni menekan biaya pengeluaran orang tua sehingga pendidikan berjalan lancar.

"Kami berharap ini dipahami oleh masyarakat," ujarnya.

Selain persoalan itu, penggunaan tes cepat juga dilematis, terutama terhadap orang-orang yang memiliki gejala yang sama dengan penderita COVID-19, namun setelah diperiksa swab dengan metode PCR hasilnya negatif. Penggunaan rapid test ini sesuai prosedur, namun dalam pelaksanaannya tenaga kesehatan dan tim medis kerap disalahkan akibat hasil tes cepat berbeda dengan hasil pemeriksaan PCR.

Padahal petugas kesehatan dan tim medis berupaya meminimalisir risiko penularan COVID-19.

Baca juga: Menhub usul ke Kemenkeu, subsidi rapid test penumpang angkutan umum
Baca juga: Gresik gratiskan rapid test bagi peserta UTBK

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020