Surabaya (ANTARA) - Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono mengatakan konstruksi sosial atas kondisi pandemi COVID-19 dipengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap realitas yang terjadi, sehingga cenderung menyeragamkan atau menyamakan, dan akhirnya muncul stigma negatif bahwa orang kena virus akan merambat pada semuanya.

"Kasus perilaku diskriminasi pada orang dalam pemantauan (ODP), pasien dengan pengawasan (PDP), dan suspek kian marak bermunculan, serta diskriminasi terhadap buruh rokok dan keluarganya. Ini tidak seharusnya terjadi, apalagi buruh merupakan elemen penting dalam menggerakkan roda perekonomian," kata Drajat saat dihubungi wartawan, Sabtu.

Contoh lainnya, kata dia, tiga perawat yang bekerja di RSUD Solo diminta pergi sang pemilik kos lantaran takut tertular, dan penolakan pemakaman jenazah korban COVID-19 oleh sejumlah warga desa.

Bagi Drajat, perawat atau buruh sebagai tenaga kerja dalam relasi industri, merupakan bagian dari sistem negara yang harus diperlakukan secara adil dan beradab.

Baca juga: Masyarakat diimbau tidak beri stigma negatif ke pasien COVID-19

Baca juga: Ahmad Basarah ajak warga setop stigmatisasi pahlawan medis


Oleh karena itu, dukungan sosial antara satu individu dengan lainnya sangat diperlukan dalam penanganan COVID-19, sehingga menurutnya sikap seperti itulah yang harus dibangkitkan dan dipromosikan oleh negara.

"Jadi, memang secara sosiologis, persepsi atau konstruksi sosial atas kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini, dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan masyarakat terhadap realitas yang terjadi," katanya.

Ia mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki aset sosial untuk mempercepat penanganan COVID-19 dan merespon fenomena sosial yang terjadi di tengah krisis kesehatan.

"Indonesia punya modal kuat untuk mempercepat penanganan COVID-19. Dalam penanganan situasi saat ini kita memiliki relasi-relasi sosial seperti keterikatan empati, penghargaan dan penghormatan sehingga tercipta sikap gotong-royong dan tolong menolong," katanya.

Dalam konteks realisasi di lapangan, kata Drajat dapat dimulai dari tim terpadu yang ada saat ini yakni pemerintah, pihak kepolisian, tenaga medis dengan melibatkan elemen masyarakat dan tokoh di lingkungan, sehingga kejadian diskriminasi dapat diminimalisir dengan baik.

Sebelumnya, Serikat Pekerja dan Mitra Produksi Industri Makanan dan Produk Tembakau mengajak masyarakat dan komunitas untuk memberikan perlindungan dan menghilangkan stigma negatif terhadap para buruh yang terpapar COVID-19.

Mereka mengajak masyarakat untuk mendukung dan memotivasi buruh yang terkena dampak COVID-19 beserta keluarganya dengan menumbuhkan rasa gotong-royong antar sesama. Serikat pekerja dan mitra produksi juga meminta pemerintah dan masyarakat untuk lebih berempati kepada buruh karena situasi pandemi sangat berdampak pada buruh secara sosial dan ekonomi.

"Buruh atau keluarganya yang terkena dampak COVID-19 harusnya dimotivasi dan didukung. Prioritas kita semua sekarang adalah menjaga kesehatan serta kebersihan dengan mengikuti anjuran Pemerintah sehingga pandemi ini segera berakhir," ujar Ketua Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Joko Wahyudi.*

Baca juga: Dokter di Kolombia terusir dari apartemennya karena stigma COVID-19

Baca juga: MPR sesalkan stigma negatif kepada tenaga medis

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020