Pulau Timor bukan merupakan jalur terbentuknya gunung berapi
Kupang (ANTARA) - Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM menyatakan bahwa sangat kecil kemungkinan kemunculan api, air panas, gas berbau dan asap di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)  apalagi sampai menghasilkan gunung api yang baru.

"Apalagi Pulau Timor bukan merupakan jalur terbentuknya gunung berapi jadi, fenomena yang terjadi di Timor Tengah Selatan sangat kecil kemungkinan berkaitan dengan aktivitas gunung api, apalagi sampai menghasilkan gunung api yang baru," kata Kasubbid Mitigasi Gunungapi Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana kepada ANTARA saat dihubungi dari Kupang, Rabu.

Ia menjelaskan bahwa secara geologi, wilayah itu bukanlah lokasi tempat beradanya gunung api-gunung api aktif Holocene. "Yang berarti bahwa wilayah itu tidak dikenal aktivitas gunung api setidaknya dalam 11 ribuan tahun terakhir," katanya.

Ia menambahkan bahwa di wilayah itu (kabupaten TTS) memang salah satunya tersusun oleh batuan vulkanik namun berasal dari aktivitas gunung purba.

Baca juga: Geolog: Gas biogenik diduga penyebab munculnya api di pegunungan TTS
Baca juga: Calon gunung berapi muncul di Kabupaten Timor Tengah Selatan


Namun ia menjelaskan mengapa sehingga fenomena api, air panas, gas berbau dan asap muncul di daerah itu. Yang pertama sebelum fenomena itu muncul dikatakan pernah terjadi longsor di daerah itu.

Longsor itu adalah proses pergerakan lapisan tanah penutup yang berada di atas batu lempung, dimana batu lempung ini berperan sebagai bidang gelincir longsor.

"Kemudian batu lempung, yang bersifat kedap, sebelumnya kemungkinan berada di atas endapan rawa yang kaya akan lapisan organik yang dapat terubah menjadi gas metana. Dengan kata lain, batu lempung ini berperan sebagai 'cap rock' atau perangkap gas metana sehingga gas metana terakumulasi dalam batuan di bawah batu lempung," ujar dia.

Setelah longsor, batu lempung akan tersingkap dan kemungkinan batu lempung ini mengalami keretakan sehingga gas metana yang terperangkap di bawahnya naik ke permukaan, lalu mengalami kontak dengan udara di permukaan sehingga terbakar.
​​​​​
"Air panas yang keluar dapat berasosiasi dengan struktur geologi (sesar/patahan) di wilayah ini, dan bau belerang bisa berasosiasi dengan gas yang terperangkap tadi," tambah dia.

Baca juga: UGM kembangkan "drone" amfibi untuk pantau gunung berapi
Baca juga: Lubang runtuhan di Selandia Baru ungkap keberadaan sebuah gunung berapi


Lebih lanjut Devy menambahkan bahwa proses pembentukan gunung api membutuhkan pergerakan magma dari dalam ke permukaan, dan jika itu terjadi maka umumnya akan disertai peningkatan kegempaan yang sangat signifikan di wilayah tersebut.

Namun faktanya hingga saat ini belum dilaporkan adanya peningkatan kegempaan di wilayah tersebut. Masyarakatpun diharapkan tetap tenang, kemungkinan aktivitas ini akan mereda dengan sendirinya.

"Namun juga untuk sementara waktu ini sebaiknya tidak beraktivitas dulu di sekitar area tersebut karena jika itu merupakan area longsor maka ada kemungkinan tanahnya belum stabil dan juga kalau masih tercium bau ini pun tidak sehat kalau kita terlalu dekat.," tambah dia.

Sementara terkait ancaman keracunan gas juga kata dia sangat kecil kemungkinan karena berada di areal terbuka sehingga konsentrasi gas yang keluar tercacah oleh udara di sekitar.

Ia juga mengatakan bahwa PVMBG saat ini telah mengirimkan tim ke lokasi untuk memantau secara langsung informasi tersebut.

Baca juga: 19 gunung api di Indonesia berstatus waspada
Baca juga: Gunung berapi Jepang erupsi pertama kali dalam 250 Tahun

Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020