Siak, Riau (ANTARA) - Perbincangan mengenai lahan gambut seringkali yang mencuat adalah kebakaran dan pada akhirnya berdampak merusak lingkungan hidup dengan segala variannya, termasuk gangguan aspek kesehatan.

Akibatnya, diskursus mengenai gambut lebih didominasi dengan sisi gangguan atas lingkungan hidup, karena seringkali tanaman sawit pun juga ditanam pada area gambut yang rentan terjadi kebakaran.

Masih sangat sedikit sekali ada cerita sukses bahwa di area lahan gambut muncul inovasi non-sawit yang kalah pamor dengan sisi negatif merusak lingkungan tadi.

Salah satu cerita sukses itu diukir di Kabupaten Siak, Provinsi Riau --di mana sebelumnya daerah itu pada 2014-2015-- juga menjadi kawasan yang terkena bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) --di antaranya pada lahan gambut yang didominasi tanaman sawit.

Setelah Bupati Siak H Alfedri mengusung program Siak Hijau yang implementasinya adalah lahirnya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor Nomor 22/2018 mengenai Inisiatif Siak Hijau --turunan dari program itu kemudian oleh sejumlah desa dilaksanakan dengan kreasi masing-masing.

Bupati Siak Alferdi mengungkapkan bahwa rendahnya persentase titik panas (hotspot) di daerah itu adalah hasil dari upaya pencegahan karhutla Kabupaten Siak yang diupayakan dari tahun ke tahun.

Kabupaten Siak telah mendorong upaya pemanfaatan lahan agar terjaga. Upaya-upaya tersebut tidak hanya berupa kerja pemerintah daerah, namun juga melibatkan masyarakat, mitra pembangunan dan pemerintah kabupaten, organisasi masyarakat sipil, juga pihak swasta yang dipayungi oleh Peraturan Bupati Nomor 22/2018 mengenai Inisiatif Siak Hijau.

"Kami melaksanakan turunan dari Perbup Nomor 22/2018 itu di desa kami dengan peraturan kampung (Perkam), yakni mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besar manfaat bagi warga dengan prinsip hijau dan berkelanjutan," kata Penghulu (Kepala Desa) Temusai, Kecamatan Bungaraya, Kabupaten Siak, Sabtu (12/10) 2019.

"Dan Alhamdulillah, tahun 2019 ini di desa kami yang sebagian besar area gambut nir-karhutla," katanya saat menerima 60 anggota rombongan peserta Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) 2019, di mana Kabupaten Siak menjadi tuan rumah penyelenggara pada 10-13 Oktober 2019.

LTKL memiliki 11 kabupaten anggota di delapan provinsi Indonesia, yakni Kabupaten Musi Banyuasin (Sumsel), Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Sintang (Kalbar), Kabupaten Sigi (Sulteng), Kabupaten Bone Bolango (Provinsi Gorontalo), Kabupaten Gorontalo (Provinsi Gorontalo), dan Kabupaten Aceh Tamiang (Provinsi Aceh), 14 jejaring mitra dan bekerja berdampingan dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia (APKASI).

Di dalam aktivitasnya, LTKL juga menjembatani dukungan bagi kabupaten untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dari jejaring mitra pembangunan nasional dan global, termasuk masyarakat sipil, akademisi dan swasta.

Menurut Markuat, Desa Temusai dengan luas mencapai 2.300 hektare (ha), di mana sepertiganya adalah lahan gambut memiliki Program "Temusai Kampung Hijau" sebagai turunan Perbup 22/2018 mengenai Inisiatif Siak Hijau mencoba melakukan inovasi dengan menanam jeruk lemon, jeruk nipis, matoa, pisang dan juga budi daya jamur tiram, dan juga singkong.

"Produk buah-buahan ini adalah hasil yang ditanam di lahan gambut," katanya disela-sela menerima kunjungan rombongan yang sekaligus memperlihatkan produk itu dipasarkan pada tamu-tamu dari berbagai daerah itu.

Peserta LTKL yang melihat langsung produk komoditas pertanian itu dipersilakan mencicipi aneka produk olahan dari buah-buahan itu.

Baca juga: KLHK targetkan restorasi gambut 2 juta ha 2030 sukses 90 persen

Baca juga: "Siak Hijau", sumbangsih Indonesia kurangi perubahan iklim dunia



Sentra persawahan

Camat Bungaraya Hendi Derhavin kepada rombongan menjelaskan bahwa wilayah itu kini dikenal sebagai sentra persawahan di Provinsi Riau dari sebelumnya kawasan perkebunan sawit.

"Dan Bungaraya ini andalan ketahanan pangan Provinsi Riau," katanya.

Ia menyebutkan bahwa wilayah itu sebelumnya memang adalah area persawahan. Namun, saat "booming" sawit, kemudian masyarakat setempat mengalihfungsikan menjadi perkebunan sawit.

Hingga akhirnya ketika ada persoalan dengan sawit, kemudian muncul kesadaran untuk mengembalikannya menjadi sawah, terlebih dari perhitungan Dinas Pertanian setempat hasil 1 ha sawah bisa menghasilkan lebih baik dibandingkan dengan 1 ha sawit.

"Terdapat 2.000 ha sawah yang ada saat ini, kemudian ditambah jadi 130 ha lagi kebun sawit yang 'ditumbangkan' dan dialihfungsikan lagi menjadi sawah," katanya.

Kini, di kampung-kampung di Bunga Raya terasa sejuk karena dipenuhi dengan hijauan aneka pepohonan, dan semakin identik dengan kawasan persawahan.

Baca juga: Karhutla Dumai dan Siak berkurang signifikan karena restorasi

Baca juga: Lahan gambut di sekitar area sumur minyak di Siak terbakar



Teh bunga telang

Sementara itu, desa tetangga Temusai, yakni Desa Suak Merambai --yang kawasannya tidak semuanya gambut-- kepala desa dan warganya, khususnya generasi muda, juga melakukan inovasi dengan pengembangan budi daya bunga telang (Clitoria ternatea) yang diolah menjadi teh.

"Budi daya bunga telang ini sebenarnya belum lama, namun dengan pengembangan oleh anak-anak muda, kini mulai dikenal luas," kata Penghulu Desa Suak Merambai, Kecamatan Bungaraya Samsuri.

Anak muda yang dimaksud Samsuri, adalah Devi Pratiwi, kelahiran Desa Suak Merambai yang alumnus Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta, yang memperkenalkan bunga telang itu kepada masyarakat setempat.
Devi Pratiwi (kiri), juara pertama Pemuda Pelopor bidang pangan tingkat nasional 2019 dan Samsuri, Penghulu (Kepala Desa) Suak Merambai, Kecamatan Bungaraya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, memperlihatkan bunga telang saat kunjungan rombongan peserta Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) 2019 di Desa Temusai, Sabtu (12/10/2019. (ANTARA/Andi Jauhari/HO-Humas LTKL)


Devi bercerita bahwa sebenarnya bunga telang dengan ciri utama berwarna biru itu sejatinya adalah tanaman rambat yang tumbuh liar. Ia melihatnya pertama kali saat masih kuliah pada 2015 di Yogyakarta.

Usai menyelesaikan studi, ia kembali ke Riau dan bersama sejumlah pehobi tanaman kebun membentuk komunitas "Sahabat Berkebun".

Singkat cerita, di dalam komunitas itu ada anggotanya yang menerima kiriman bibit bunga itu dari Pulau Jawa, yang kemudian mengingatkannya saat pertama menjumpai tanaman itu saat di Yogyakarta. Lalu, dari bibit yang sudah dikembangbiakkan, ia memulai untuk mengembangkan di desa kelahirannya itu.

"Syukur Alhamdulillah, saat ini 200 kepala keluarga atau sekitar 1.200 jiwa warga Desa Suak Merambai punya tanaman bunga telang ini di pekarangan masing-masing," kata Devi Pratiwi, yang baru saja terpilih menjadi juara pertama Pemuda Pelopor bidang pangan tingkat nasional 2019 yang digelar Kemenpora.

Kini, dengan kolaborasi dan bantuan beberapa pihak, teh bunga telang itu, selain dijual secara langsung juga sudah dipasarkan secara dalam jaringan (daring) atau online.

Budi daya bunga telang yang dilakukan ibu-ibu di desa itu juga telah memberikan efek ekonomi karena hasil panennya mampu memberikan tambahan penghasilan.

Melalui Rumah Kreatif yang dibentuk di desa itu, hasil panen warga ditampung, diolah dan kemudian dikemas dengan bentuk menarik dengan prinsip ramah lingkungan, dan hasilnya akan memberi manfaat ekonomi bagi keluarga.

Meski masih terus dilakukan penelitian dengan bantuan Universitas Riau (UNRI) untuk mendapatkan landasan ilmiahnya, Devi Pratiwi menyatakan teh dari bunga telang diyakini punya manfaat kesehatan karena kandungan antioksidannya bermanfaat bagi kesehatan mata.

"Untuk khasiatnya, kita masih menunggu kajian akademisnya," katanya.

Dalam sebuah literatur, sebagai minuman teh, tiga kuntum bunga telang dalam bentuk segar --dan belum dikeringkan-- bila ditambahkan jeruk lemon akan memberikan sensasi rasa lebih kuat dan menyegarkan.

Desa Temusai, dengan area lahan gambut memiliki komoditas jeruk lemon, sedangkan Desa Suak Merambai, menyediakan tanaman bunga telang.

Kombinasi itu adalah salah satu cerita sukses dari area lahan gambut yang jadi pelajaran bahwa tidak semua diskursus gambut selalu identik dengan kerusakan lingkungan.*

Baca juga: Siak jadi tuan rumah Jambore Gambut 2020

Baca juga: Masyarakat Siak diminta jaga gambut antisipasi karhutla

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019