Semarang (ANTARA) - Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak harus menjadi standar sekolah-sekolah yang ada di ibu kota provinsi Jawa Tengah itu.

"Sekolah harus memiliki sistem pendidikan yang membuat anak nyaman. Kalau anak tidak merasa nyaman di sekolah, penyerapan ilmu tidak akan lancar," kata Hendi, panggilan akrabnya, saat mengantar rombongan wartawan dari Jakarta ke SMP 33 Semarang, Senin (16/9).

Hendi mengatakan SMP 33 merupakan salah satu percontohan Sekolah Ramah Anak di Kota Semarang. Dalam evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak 2019, Kota Semarang berhasil meraih predikat Nindya.

Hendi mengatakan letak SMP 33 yang cukup terpencil karena berada di wilayah yang belum dijangkau transportasi umum tidak menyurutkan langkah untuk menjadi Sekolah Ramah Anak.

"Meskipun awalnya kurang berkembang sistem pendidikan dan infrastrukturnya, tetapi karena komitmen tidak ada istilah sekolah pinggiran dan sekolah perkotaan, kami menempatkan kepala sekolah yang memiliki visi dan misi yang jelas," tuturnya.

Baca juga: KPAI dorong Kemendikbud-Kemenag percepat Sekolah Ramah Anak

Kepala SMP 33 Semarang Didik Teguh Prihanto mengatakan sekolah yang dia pimpin mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Ramah Anak pada 4 April 2019 yang juga dihadiri Wali Kota Hendi.

"Setelah deklarasi, kami terus berbenah dengan konsep bergerak bersama dengan slogan 'Sekolahku Rumah Keduaku' yanh pada akhirnya untuk memacu prestasi siswa," kata Didik.

Sebagai Sekolah Ramah Anak, SMP 33 Semarang menerapkan pendisiplinan yanh positif dengan mengikutsertakan para siswa dalam menyusun peraturan sekolah. Pihak sekolah berupaya menanamkan komitmen para siswa untuk mematuhi peraturan sekolah.

"Pembelajaran yang dilakukan juga harus bervariasi dan menyenangkan, tidak selalu di dalam kelas. Siswa diarahkan membangun komitmen bersama dengan guru tentang pembelajaran di kelas," jelasnya.

Didik mengatakan meskipun menjadi Sekolah Ramah Anak, bukan berarti guru SMP 33 Semarang tidak boleh marah dan menghukum siswa. Namun, hukuman yang diberikan guru harus keren dan tanpa kekerasan.

"Selain ada komitmen siswa untuk mematuhi peraturan, juga dibangun komitmen guru dalam melakukan pendisiplinan yang positif," katanya.

Baca juga: Sudah ada 10.210 sekolah ramah anak

Sementara itu, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kreativitas, dan Budaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Elvi Hendrani mengatakan Kabupaten/Kota Layak merupakan komitmen pemerintah daerah yang ditandai dengan pemenuhan 24 indikator pelindungan anak, salah satunya adalah keberadaan Sekolah Ramah Anak.

"Sekolah Ramah Anak adalah komitmen pemerintah daerah untuk melindungi sepertiga kehidupan anak karena selama delapan jam anak berada di sekolah," katanya.

Elvi mengatakan predikat Nindya yang berhasil diraih Kota Semaranh dalam evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak 2019 memiliki penilaian yang terukur, salah satunya keberadaan 50 persen sekolah yang sudah mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Ramah Anak.

"Sekolah harus mendeklarasikan diri dan mendapatkan surat keputusan dari kepala daerah dan memasang papan nama sebagai Sekolah Ramah Anak agar diketahui oleh masyarakat," jelasnya.

Selain itu, harus ada sejumlah indikator yang harus dipenuhi Sekolah Ramah Anak, diantaranya adalah bentuk pendisiplinan positif dan suasana yang nyaman bagi siswa.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengadakan kunjungan media ke beberapa kabupaten/kota yang meraih predikat Nindya dalam evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak 2019. Selain di Kota Semarang, kunjungan media juga akan dilakukan ke Kabupaten Sleman dan Kota Balikpapan.

Baca juga: Menteri PPPA canangkan Puskesmas dan sekolah ramah anak di Tanimbar.
Baca juga: 50 persen SD/SMP di Yogyakarta sudah berkomitmen menjadi SRA

 

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019