Dalam suatu forum diskusi tentang pembangunan infrastruktur sebagai
primadona gelora pembangunan negara dan bangsa Indonesia masa kini, saya
sempat tertegun ketika mendengar pendapat bahkan keyakinan bahwa
pembangunan mutlak membutuhkan pengorbanan.
Mustahil pembangunan dilakukan tanpa pengorbanan. Yang membuat saya
tertegun adalah ternyata yang siap dikorbankan adalah lingkungan hidup,
sosial, budaya, bahkan rakyat.
Proses birokrasi perizinan yang berpihak ke lingkungan hidup,
seperti AMDAL dianggap sebagai penghambat pembangunan. Lingkungan sosial
dan lingkungan budaya dianggap sebagai sekadar romantisme emosional
yang sama sekali tidak rasional maka merupakan suatu bentuk kemubaziran
penghambat derap laju pembangunan, termasuk proses musyawarah-mufakat
dengan rakyat yang akan digusur dianggap sekadar kosmetik politik bagi
mereka yang pada hakikatnya memang tidak mendukung pembangunan.
Semua itu menegunkan lubuk sanubari saya yang kebetulan sedang
mencoba menghayati makna apa yang disebut sebagai pembangunan
berkelanjutan atau yang diikrarkan PBB sebagai "sustainable
development".
Saya memang telanjur terhanyut ajaran sang begawan ekonomi Prof.
Emil Salim yang pada suatu orasi tentang kebakaran hutan, tegas
menyatakan bahwa sebenarnya pembangunan dapat ditatalaksanakan tanpa
mengorbankan lingkungan hidup, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan
manusia.
Profesor Emil Salim tergolong tokoh senior maka paham beliau memang
tidak sama dengan para tokoh junior masa kini yang menganut paham
pembangunan serba cepat.
Semangat pembangunan beda dari semangat kemerdekaan. Para pejuang
kemerdekaan meyakini perjuangan kemerdekaan membutuhkan pengorbanan
seperti tersirat di dalam gelora semangat "rawe rawe rantas malang
malang putung", yang memang siap berkorban bagi kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Namun, yang dikorbankan pada perjuangan kemerdekaan jelas bukanlah
rakyat! Yang siap berkorban adalah diri para pejuang kemerdekaan
sendiri.
Mustahil para pejuang kemerdekaan berjuang demi kemerdekaan rakyat,
lalu mereka tega mengorbankan rakyat demi mencapai tujuan perjuangan
mereka. Setelah 71 tahun merdeka, perjuangan pembangunan Indonesia pada
masa kini memang beda dari perjuangan para pejuang kemerdekaan Indonesia
pada masa lalu.
Perjuangan pada masa kini tidak lagi menggunakan senjata kecuali
ketika melawan para teroris atau mereka yang berani mengancam kedaulatan
bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. Sasaran perjuangan bangsa
Indonesia setelah 71 tahun merdeka bukan mengusir penjajah dari persada
Nusantara, melainkan mengusir kemiskinan dari bumi Indonesia.
Tentu saja yang dimaksud dengan kemiskinan tidak sama dengan orang
miskin. Maka, mengusir kemiskinan bukan berarti mengusir orang miskin.
Memang demi mengusir kemiskinan dibutuhkan pembangunan infrastruktur
maka perjuangan bangsa Indonesia setelah 71 tahun merdeka di bawah
pimpinan Presiden RI Jokowi yang berjiwa kerakyatan sejati memang
mengedepankan pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur membutuhkan pengorbanan. Namun,
pengorbanan yang wajib teguh berpegang pada Pancasila, UUD, hak asasi
manusia, serta pembangunan berkelanjutan yang telah diikrarkan PBB
sebagai mazhab pembangunan planet bumi pada abad XXI demi melestarikan
kehadiran umat manusia di rumah satu-satunya di alam semesta ini.
Pembangunan adalah demi kesejahteraan rakyat. Maka, tidak benar
apabila yang dikorbankan adalah rakyat. Rakyat sama sekali bukan tumbal
pembangunan. Lebih layak pembangunan dikorbankan demi rakyat ketimbang
rakyat dikorbankan demi pembangunan. Mengorbankan rakyat berarti bukan
menyejahterakan, melainkan mengkhianati sambil menyengsarakan rakyat.
Wajar di alam demokrasi setiap insan berhak memiliki pendapat. Maka,
memang ada yang memiliki keteguhan mental tanpa berkedip tega
mengorbankan seribu rakyat demi kepentingan sejuta rakyat.
Bagi para penganut mazhab siap mengorbankan minoritas demi
kepentingan mayoritas memang sulit mengerti mazhab pembangunan
berkelanjutan. Sulit mengerti kenapa rakyat tidak layak dikorbankan demi
kepentingan masyarakat selama diri pihak yang sulit mengerti itu bukan
rakyat yang dikorbankan. Maka, tidak pernah secara langsung merasakan
sendiri derita rakyat yang dikorbankan.
Sulit bagi mereka yang kebetulan bukan rakyat yang dikorbankan untuk
mengerti kenapa rakyat tidak diikhlaskan untuk dikorbankan demi
pembangunan.
Maka, melalui naskah sederhana yang sedang Anda baca ini dengan
penuh kerendahan hati saya memberanikan diri mengetuk pintu sanubari
para pejuang pembangunan untuk memohon kemurahan hati para pejuang
pembangunan untuk tidak mengorbankan lingkungan hidup, sosial, budaya
dan rakyat dalam berjuang menunaikan pembangunan demi meraih cita-cita
terluhur bangsa Indonesia: masyarakat adil dan makmur. MERDEKA!
*) Penulis adalah budayawan dan seniman
Rakyat Bukan Tumbal Pembangunan
Kamis, 1 September 2016 11:56 WIB