Jakarta
(ANTARA Kaltim) - Kementerian Perhubungan melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan telah wacanakan pendirian sebuah badan usaha milik negara yang
khusus membidangi bisnis multimoda. Sebagai langkah awal, Balitbang telah
mengirimkan hasil studi mereka tentang pendirian unit eselon satu baru yang
kelak membidangi pengaturan bisnis tersebut kepada Menteri Perhubungan.
Menurut Pelaksana tugas (Plt) Kepala Balitbang, L.
Denny Siahaan, penataan multimoda transportasi mendesak dilakukan mengingat
Indonesia akan memasuki Asean Connectivity pada 2015. Adapun direktorat
jenderal baru yang akan didirikan itu nantinya mengurusi soal sarana,
prasarana, dan angkutan khusus seperti angkutan Lebaran, Natal, Tahun Baru,
liburan sekolah, saat terjadi bencana alam, katanya.
Apakah memang diperlukan sebuah BUMN khusus untuk
mengurusi multimoda transportasi di Indonesia ? Bagaimana hubungannya dengan
perusahaan-perusahaan, baik milik negara maupun yang dijalankan oleh swasta
yang selama ini sudah menjalankan bisnis mereka secara multimoda walaupun masih
relatif terbatas ? Bagaimana hubungannya dengan berbagai instansi lain yang
juga sedikit banyak terkait dengan transportasi multimoda seperti Kementerian
Keuangan (Bea dan Cukai), Kementerian Perdagangan dan sebagainya ?
Sekelumit transportasi multimoda
Transportasi multimoda, juga dikenal di kalangan
pelaku bisnis logistik dengan istilah combined transport, adalah pengangkutan
barang dengan menggunakan dokumen pengangkutan (bill of lading-B/L) tunggal dan
menggunakan paling sedikit dua moda transportasi yang berbeda. Penyedia layanan
multimoda dalam memberikan layanannya tidak mesti memiliki moda transportasi.
Pemain transportasi multimoda disebut juga dengan istilah multimodal transport
operator (MTO).
Dengan prinsip multimoda kegiatan pengangkutan hampir
tidak ada lagi sekat di dalamnya. Maksudnya, antara
shipping-forwarding-port-inland transport-consolidation/distribution center
adalah sebuah rangkaian yang tak terputus. Penerapan transportasi multimoda
selama ini telah merubah perilaku industri dalam pengelolaan bahan baku dan
produksi.
Pabrikan sudah banyak yang tidak menyediakan gudang
(zero inventory) dan mengandalkan penyimpanan bahan baku produksi di atas moda
transportasi. Operator transportasi multimoda memastikan bahan baku produksi
itu sampai di pabrik tepat pada waktunya (just in time) dengan menggunakan
kereta api, truk, kapal atau moda lainnya.
Kini sistem multimoda telah berjalan di hampir seluruh
belahan dunia dan hanya tersisa sedikit negara yang belum menerapkannya,
termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, wacana penerapan transportasi multimoda
yang diusung Kemenhub patut diapresiasi.
Bukan jawaban
Penerapan transportasi multimoda di Indonesia memang
sangat tepat mengingat negeri ini merupakan negara kepulauan yang sangat luas
dengan keterbatasan alat transportasi yang cukup akut. Namun, mendirikan sebuah
unit eselon satu baru dalam Kemenhub yang khusus membidangi masalah ini dan
sebuah BUMN multimoda yang akan menjalankan arahan yang dibuat oleh ditjen itu
jelas bukan jawaban.
Ada beberapa poin mengapa usulan Balitbang Kemenhub di
muka tidak tepat. Pertama, semangat terdalam transportasi multimoda adalah
deregulasi yang diwujudkan dengan penyederhanaan prosedur, dalam hal ini
penggunan single document untuk berbagai moda transportasi. Seiring
perkembangan teknologi informasi (TI), transportasi multimoda juga merupakan
salah satu sektor yang paling intensif menggunakan TI dalam bidang tracking dan
tracing.
Sehingga, komunikasi antara para pihak (shipping,
forwarding, port, inland transport, consolidation/distribution center) makin
lancar karena sudah B-to-B. Pemerintah hampir tidak terlibat sama sekali.
Pendirian ditjen multimoda, sebut saja demikian, dengan wewenang regulasinya
sepertinya justru akan membuat transportasi multimoda menjadi highly regulated.
Pada akhirnya kita makin tidak kompetitif saja
dibanding negara serantau yang sudah berkembang transportasi multimoda-nya.
Kalaupun diperlukan institusi pengatur (regulatory body) serahkan saja kepada
para pelaku untuk membuatnya.
Kedua, pendirian BUMN multimoda akan membuat “dunia
persilatan†logistik di Indonesia makin semrawut. Pasalnya, beberapa badan
usaha pelat merah secara terbatas sudah menjalankan transportasi multimoda.
Contohnya, perusahaan pelayaran sudah pula menjadi forwarder atau operator
terminal. Ini belum lagi ditingkahi dengan gagasan BUMN kepelabuhanan untuk
menggarap sektor pelayaran. Bagaimana bisnis mereka nantinya jika wacana BUMN
multimoda jadi diimplementasikan ?
Bukan hendak menafikan kerja akademik yang telah
dilakukan oleh Balitbang Kemenhub, sebaiknya wacana BUMN multimoda tidak
diteruskan. Sebagai gantinya, mari kita dorong penerapan prinsip-prinsip
transportasi multimoda yang sudah jalan di lapangan agar lebih berkembang.
Salah satunya adalah penggunaan electronic data interchange (EDI) yang saat ini
terbatas hanya untuk barang-barang impor.
Penulis adalah Direktur The National Maritime
Institute (Namarin)