Tanjung Redeb (ANTARA Kaltim) - Aktivitas konservasi penyu maupun pengelolaan wisata di Pulau Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, hingga kini masih belum terlihat menyusul peristiwa pengusiran warga Derawan terhadap petugas konservasi beberapa waktu lalu.

"Sekarang Pulau Sangalaki sudah diamankan oleh dua orang petugas kepolisian dari Polsek Tanjung Batu," kata Camat Pulau Derawan, Zulfikar, Rabu.

Meski demikian, hingga kini masih belum ada aktivitas konservasi penyu hijau dan penyu sisik yang masuk dalam kategori hewan langka dan dilindungi.

"Karena permintaan warga memang seperti itu, menuntut agar pulau itu dikosongkan," katanya.

Menurut Zulfikar, warga menuntut untuk dilibatkan dalam pengelolaan Pulau Sangalaki, termasuk dalam konservasi penyu.

"Kenapa orang lain yang mengelola? Kenapa bukan warga Derawan? Dulu waktu dikelola oleh masyarakat jauh lebih berhasil," tuturnya.

Zulfikar mengklaim, ketika masih dikelola warga, peluang hidup penyu jauh lebih tinggi dibanding saat dikelola oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan LSM WWF.

"Kalau peluang hidup penyu yang dikelola BKSDA hanya seribu banding satu, sedangkan saat dikelola oleh warga peluangnya 100 banding 20," ujarnya.

Ketimpangan perbandingan tersebut, kata Zulfikar, dikarenakan pada saat dikelola oleh warga, penyu baru dilepas setelah berusia minimal 6 bulan, sehingga penyu sudah cukup kuat untuk bertahan di samudera terbuka.

"Kalau masih berupa tukik (bayi penyu) sangat rentan, mereka (tukik) diserang oleh predator seperti burung dan ikan," kata Zulfikar.

Pihaknya kembali berharap agar BKSDA maupun pemerintah pusat bersama Pemkab Berau dan masyarakat dapat terlibat dalam pengelolaan Pulau Sangalaki dan konservasi penyu.



Beda Metode

Sementara itu, Kabag Humas dan Protokol Pemkab Berau, Mappasikra Mappasaleng sekitar 10 tahun yang lalu, masyarakat ikut terlibat dalam konservasi penyu.

"Penyu-penyu baru dilepas setelah berusia enam bulan, sudah cukup besar dan mampu bertahan dari serangan burung dan ikan," ungkapnya.

Mappasikra menambahkan, saat masih ditangani oleh warga, penyu tersebut dipelihara dan diberi makan, setelah 6 bulan, Pemkab Berau memberikan pengganti biaya pemeliharaan penyu kepada masyarakat.

Berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat, BKSDA dan LSM langsung melepaskan penyu ke laut setelah menetas, dan tukik dilepaskan begitu saja saat tempurung penyu secara fisik masih lunak.

Sedangkan Ahang Moord, Ketua Yayasan Penyu Berau, membantah bahwa konservasi penyu telah salah kelola. "Peluang keberhasilan telur penyu untuk menetas mencapai 82 hingga 90 persen" katanya.

Ada dua metode yang digunakan dalam proses penetasan telur penyu, yakni alami dan semi alami. Yang dimaksud alami, telur penyu yang benar-benar aman dari ombak maupun serangan predator tidak direlokasi hingga menetas.

Sedangkan metode semi alami dilakukan dengan cara merelokasi telur dari ombak maupun predator alami seperti burung dan biawak.

"Kami upayakan penetasan telur sealami mungkin, tidak dibantu dengan penghangatan menggunakan lampu atau alat lain," kata Ahang.

Di daratan Pulau Sangalaki seluas 15 hektar tersebut, dibagi menjadi beberapa sektor. Masing-masing sektor, menurut Ahang memiliki persentase penetasan yang berbeda.

"Secara global dari sektor-sektor tersebut peluang menetasnya mencapai 90 persen," ungkapnya. Meski demikian, setelah telur tersebut menetas menjadi tukik, tukik langsung dilepas ke lutan bebas.

Ahang mengakui, tukik-tukik tersebut segera langsung menghadapi ancaman begitu dilepas ke laut, namun menuutnya hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam rantai makanan.

"Mengapa tidak dibudidayakan agar peluang hidup penyu lebih besar? Saat ini belum bisa dilakukan metode pembudidayaan, karena penyu merupakan hewan liar yang dilindungi tidak bisa dipelihara," katanya. (*)

Pewarta: Helda Mildiana

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012