Keceriaan dan gelak tawa Intan Olivia (2,5) tiba-tiba berubah menjadi jeritan tangis yang membahana hingga menyentak jemaat Gereja Oikumene yang baru saja selesai menjalankan ibadat.

Pagi itu, Minggu, 13 November 2016 sekitar pukul 10.00 Wita, Intan Olivia sedang berlari-lari kecil bersama teman-teman sebayanya di depan Gereja Oikumene di Jalan Ciptomangunkusumo, RT 03, Nomor 37, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda.

Keceriaan Intan Olivia bersama Triniti Hutahaya (3), Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (4), Anita Kristabel Sihotang (2), bersama anak-anak lainnya, yang tengah menunggu orang tua mereka yang sedang beribadat di Gereja Oikumene, ternyata menjadi tawa terakhir anak pasangan Anggiat Manuppak Banjarmahor dan Diana Susan Br Sinaga.

Jam menunjukkan pukul 10.15 Wita, tawa riang anak-anak yang tengah menunggu orang tua mereka keluar dari dalam gereja, berubah menjadi malapetaka yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Seorang pria berperawakan kurus dan berambut gondrong menggunakan sepeda motor Honda Kharisma tiba-tiba mengusik keceriaan mereka.

Canda tawa Intan Olivia bersama anak-anak lainnya berubah menjadi jerit tangis saat sebuah bom "low oksplosive" atau berdaya ledak rendah tiba-tiba menyalak, mengoyak keceriaan anak-anak tidak berdosa tersebut.

Suara tawa dan anak-anak itu kemudian berubah menjadi jeritan yang menyayat hati disertai suara letusan disusul semburan api hingga membuat jeritan mereka semakin lantang.

Riuh suara tawa yang dihujam letupan bom dan semburan api tersebut membuat orang tua mereka yang ada di dalam gereja yang hendak beranjak menjemput anak-anak mereka juga berubah menjadi jeritan histeris.

Menurut Pendeta Samion (53), yang berada persis di depan Gereja Oikumene, saat itu ada beberapa anak yang tengah bermain di halaman Gejera Oikumene menunggu orang tua mereka yang tengah menjalankan ibadah.

Namun, tiba-tiba terdengar suara letusan yang cukup keras, kemudian disusul semburan api dan sap hitam yang membumbung hingga ke atap gereja. Suara tawa anak-anak itu berubah menjadi jeritan dan suara panik dari orang tua mereka.

Dari dalam gereja, teriakan histeris jemaat yang baru saja selesai melaksanakan ibadah, juga membahana hingga menyulut kepanikan dan kecemasan terhadap anak-anak mereka yang tengah bermain di halaman gereja.

Tidak ada yang bisa dilakukan, sebab mereka terjebak semburan api dan asap yang menyergap hingga ke seluruh ruangan Gereja Oikumene.

Ledakan dan api yang terlontar dari motor Honda Kharisma yang berada di depan Gereja Oikumene, merenggut asa mereka untuk dapat menyelamatkan anak-anak.

"Setelah ledakan, saya melihat lelaki berambut panjang lari ke arah Dermaga Sumalindo, meninggalkan anak-anak yang menjerit terkena bom dan api. Saya bersama warga langsung mengejar pria yang diduga pelaku bom tersebut," kata Samion.

Di lokasi ledakan, empat bocah tidak berdosa, tergelepar tak berdaya terkana ledakan dan semburan api.

Keempat anak tersebut, salah satunya Intan Olivia, segera dievakuasi menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) IA Moeis.

Namun, karena luka bakar yang diderita Intan Olivia dan Triniti Hutahaya sangat parah, sehingga keduanya harus dirujuk ke RSUD AW Sjahranie.

Di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Kaltim itu, kedua balita tak berdosa itu menjalani perawatan intensif dengan penanganan lima tim dokter khusus yakni, dokter ahli bedah plastik, bedah umum, anestesi, ahli anak dan juga dari keperawatan intensif.

Namun, akibat luka bakar yang diderita sangat parah, Intan Olivia, akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) AW Sjahranie Samarinda, Senin subuh sekitar pukul 04.00 Wita.

"Korban meninggal dunia akibat menderita luka bakar cukup parah yakni mencapai 78 persen," ujar Direktur RSUD AW Sjahranie Samarinda Rahim Dinata Majidi.

Selain menderita luka bakar cukup parah, balita yang menjadi korban bom di Gereja Oikumene itu, juga mengalami pembengkakan paru-paru akibat menghirup asap saat terjadi ledakan.

Luka bakar di atas 45 persen bagi orang dewasa saja sudah tergolong parah, apalagi sampai 78 persen dan ini dialami oleh balita. Korban juga mengalami pembengkakan paru-paru akibat menghirup asap saat terjadi ledakan.

Sementara, satu korban lainnya tambah Rahim Dinata yakni Triniti Hutahaya (3) yang mengalami luka bakar mencapai 50 persen, saat ini masih dalam perawatan intensif tim dokter.

"Luka bakar yang dialami Triniti mencapai 50 persen dan juga mengalami pembengkakan paru-paru akibat menghirup asap saat ledakan. Masa kritis biasanya berlangsung 10 sampai 12 hari dan kami terus berupaya agar korban bisa melewati masa kritisnya," katanya.

Hanya berselang bebebapa menit, kabar meninggalnya Intan Olivia langsung menyebar luas hingga ke seluruh penjuru negeri.

Ungkapan simpatik pun berdatangan dari seluruh penjuru negeri, tidak terkecuali para tokoh nasional bahkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya anak tidak berdosa tersebut.

"Saya mengutuk keras ledakan bom di Gereja Oikumene apalagi korbannya anak-anak yang tidak berdosa yang tidak tahu apa-apa. Saya juga punya balita sehingga tidak tega melihat korban, apalagi yang sudah meninggal. Ini perbuatan keji dan saya meminta pelakunya harus dihukum seberat-beratnya," kata Muhadjir Effendy, usai menjenguk dua korban ledakan Gereja Oikumene, di RSUD AW Syahranie Samarinda.

Keceriaan Intan Olivia yang direngut bom, terus membahana hingga menggiring Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait menyampaikan kegundahan.

"Peristiwa ini tentu tidak bisa lagi ditoleransi karena tindakan tersebut bukan lagi peristiwa biasa tetapi amat luar biasa karena korbannya adalah anak-anak. Perbuatan itu merupakan perampasan kemerdekaan terhadap anak-anak dan secara khusus adalah pencabutan secara paksa hak hidup seseorang. Ini adalah tindakan keji dan kejahatan terhadap kemanusiaan," tuturnya.

Komnas Perlindungan Anak, katanya, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut memerangi kejahatan terhadap anak.

Tidak Takut

Semboyan "Kami Tidak Takut" yang mencuat pasca bom Sarinah di Jakara pada Kamis, 14 Januari 2016, seolah menjadi motivasi bagi warga untuk bersatu padu melawan aksi teror.

Saat terjadi bom di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, pada Minggu (13/11) sekitar pukul 10.15 Wita, sekelompok warga tanpa memandang agama, suku, ras dan golongon, mengejar terduga pelaku.

Samuel Tulung, salah seorang warga yang menangkap terduga pelaku peledakan mengaku saat kejadian sedang membawa mobil hendak berjualan di Sumalindo. Tiba-tiba orang ramai dan terlihat ada kepulan asap dari Gereja Oikumene.

"Kemudian saya bertanya kepada warga dan dijawab bahwa ada bom dan kebakaran, sambil menunjuk seorang pria berambut panjang lari menuju arah Dermaga Sumalindo," katanya.

Tanpa berpikir panjang, Samuel mengaku langsung memacu mobilnya, mengejar terduga pelaku.

Namun saat sampai di tepi Sungai Mahakam, terduga pelaku peledakan bom di Gereja Oikumene yang mengenakan kaos berwarna hitam dan celana model kargo berwarna coklat itu, tiba-tiba menghilang.

"Saat saya tiba di dekat dermaga, orang itu tidak kelihatan dan ternyata dia `nyebur` ke Sungai Mahakam. Saya sempat lihat kepalanya timbul tenggelam lalu saya melihat ada sebuah perahu, kemudian saya minta pemiliknya agar mengejar pelaku," katanya.

Awalnya, pemilik perahu tidak mau. "Tetapi saya katakan akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa," kata Samuel.

Terduga pelaku peledakan bom Gereja Oikumene, akhirnya berhasil ditangkap saat berada di tengah Sungai Mahakam, kemudian dinaikkan ke atas perahu pengangkut pasir.

"Orang itu sempat menarik kaki saya, kemudian saya hajar telinganya sehingga ia melepaskan pegangannya. Saya langsung seret ke atas perahu dan ikat, kemudian saya serahkan ke polisi yang ada di Dermaga Sumalindo," kata Samuel.

Salah seorang warga lainnya yang ikut mengejar terduga pelaku yakni Ardi, seorang pekerja di sebuah toko penjual ban kendaraan roda empat yang berada persis di depan Gereja Oikumene.

"Begitu mendengar suara ledakan dan teriakan orang-orang, tanpa berpikir panjang saya langsung mengejar orang yang diduga sebagai pelaku bom itu. Dia akhirnya berhasil ditangkap kemudian diserahkan ke polisi," kata Ardi.

Sang Eksekutor

Juhanda, terduga teroris pelaku peledakan bom di Gereja Oikumene Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, yang merengut keceriaan anak-anak tak berdosa itu akhirnya bertekuk lutut atas aksi heroik warga.

Juhanda yang berusia 32 tahun itu, lahir di Kota Bogor, Jawa Barat dengan alamat sesuai kartu identitas atau KTP yakni, Perumahan Citra Kasih Blok E Nomor 030 Neohon, Kelurahan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Terduga pelaku bom Gereja Oikumene itu pernah menjalani hukumn terkait terorisme selama 3 tahun 6 bulan dan dinyatakan bebas bersyarat pada 28 Juli 2014.

"Selama dia tinggal di kawasan ini, Juhanda jarang berinteraksi dengan warga. Bahkan, sangat tertutup sehingga saya sendiri tidak banyak tahu tentang dia (Juhanda)," kata Ketua RT 04, Kelurahan Sengkotek, Abdul Malik.

Terduga pelaku pengeboman di Gereja Oikumene tinggal persis di belakang Masjid Al Mujahidin di RT 04, Kelurahan Sengkotek yang berada persis di pinggir Jalan Cipto Mangunkusumo, jalur Samarinda-Balikpapan.

Selama ini Juhanda dikenal sebagai "marbot" atau petugas yang membersihkan Masjid Al Mujahidin.

"Saya datang kesini pada 1998 dan masjid itu sudah ada. Dulu namanya Masjid Al Mujahidin tetapi setelah direnovasi, plangnya tidak terpasang lagi sampai sekarang dan Juhanda sebagai `marbot` di masjid itu," tutur Abdul Malik.

Selain sebagai marbot, keseharian Juhanda, kata Abdul Malik, juga dikenal sebagai penjual ikan dari hasil keramba yang ia kelola di belakang masjid.

Ia mengaku terkejut sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Oikumene.

Abdul Malik mengaku sempat ragu saat melihat pria terduga peledakan bom Gereja Oikumene, persis ciri-ciri Juhanda.

"Awalnya saya ragu saat melihat ia ditangkap ketika masih di atas perahu. Memang ciri-cirinya sama, berambut gondrong tetapi wajahnya terlihat putih, tidak seperti biasanya. Saya baru yakin saat seorang anak yang sering ke masjid dan memperlihatkan foto yang diunggah dari facebook dan mengatakan bahwa itu Juhanda," tuturnya.

"Kami tidak menduga dan sangat terkejut, ia melakukan perbuatan itu apalagi jarak antara tempatnya tinggal dengan Gereja Oikumene sangat dekat," ucap Abdul Malik.

Selama ini, lanjut ia, tidak ada aktivitas Juhanda yang mencurigakan terkait aksinya melakukan peledakan di Gereja Oikumene.

Namun, Juhanda memang kerap dikunjungi sejumlah orang dari luar wilayah itu.

Hal senada diungkapkan warga yang tinggal persis di sebelah Masjid Al Mujahidin.

"Saya tidak tahu aktivitas mereka karena mereka biasanya berkumpul di belakang atau tempat yang dihuni Juhanda. Kegiatan mereka bahkan sampai larut malam tetapi saya tidak tahu apa yang mereka lakukan dan yang jelas tidak sampai mengganggu karena tidak terdengar suara yang keras," ujar warga yang tidak ingin disebutkan namanya itu.

Kapolda Kaltim Inpektur Jenderal Polisi Safaruddin menyatakan, Juhadan telah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini polisi masih terus mengembangkan penyelidikan untuk mengungkap pelaku lainnya.

Saat ini, Densus 88 masih menyelidiki jenis bom yang digunakan, termasuk terkait jaringan pelaku pengeboman di Gereja Oikumene. Densus 88 membawa peralatan yang dapat mendeteksi jenis bom yang digunakan tersebut.

Tiga hari setelah ledakan bom di Gereja Oikumene, kata Safaruddin, polisi terus mendalami pemeriksaan 19 saksi, termasuk Juhanda yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Kami terus melakukan pemeriksaan, mengumpulkan bukti-bukti termasuk olah tempat kejadian perkara (TKP) yaang hari ini masih dilakukan. Semoga waktu tujuh hari yang diberikan undang-undang kepada Polri, kami mendapatkan alat bukti yang bisa mengungkap siapa saja yang terlibat dalam jaringan pelaku bom tersebut," kata Safaruddin. (*)      

Pewarta: Amirullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016