Denpasar (ANTARA Kaltim) - Dengan alasan laju kerusakan hutan dan lahan kritisnya di bawah angka rata-rata nasional, Bali menjadi tempat studi banding Panitia Khusus (Pansus) Raperda Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis  DPRD Kaltim, pekan lalu. Hasilnya? Bali mengedepankan kearifan lokal untuk menjaga hutan dan lahan. Di sisi lain, rencana tata ruang wilayah (Bali) berpihak pada pelestarian lingkungan.

Di Bali, kata Putu Suarta, Kabag TU Biro Hukum Pemprov Bali, yang menerima rombongan Pansus Lahan Kritis, belum ada peraturan daerah yang spesifik mengatur rehabilitasi hutan ataupun lahan kritis.

Tak ada hukum positif, bukan berarti tak ada aturan. Sebaliknya, kearifan lokallah yang menonjol. Di Bali, tambahnya, adat-istiadat, budaya masih dipegang erat dan berkaitan pula dengan kepercayaan.
 
Seluruh kawasan di Bali, baik di perkotaan, jelasnya, masuk dalam lembaga sosial yang disebut Desa Pakraman atau Desa Adat. Meski lembaga ini tak bertanggung jawab pada pemerintah, pada kenyataannya kerjanya sangat efektif.
Ia mencontohkan, jika lembaga Desa Pakraman menyatakan sebuah kawasan hutan tak boleh diganggu, dijarah atau dieksploitasi, bisa dipastikan hutan dimaksud akan aman dari tangan manusia.

Warga Bali, kata Putu Suarta, lebih takut mendapat sanksi adat dari Desa Adat/Pakraman ketimbang sanksi hukum positif. “Kalau melanggar adat biasanya akan dikucilkan. Sanksi ini sangat berat bagi warga Bali,” katanya.

Di satu sisi, karena pengaruh agama dan kepercayaan, mayoritas warga Bali sangat menghormati kelestarian lingkungan. Menebang pohon misalnya penuh kehati-hatian. Warga Bali bahkan merayakan Hari Tanaman dua kali setiap tahun.

Penjelasan ini disimak dan menjadi bahan diskusi anggota Pansus yang hadir di Kantor Gubernur Provinsi Bali di Denpasar, Jumat (27/11) lalu. Edy Kurniawan yang memimpin rombongan menyatakan, local wisdom seperti penjelasan Putu Suarta akan menjadi referensi pada saat penyusunan draf raperda.

“Kami sengaja ke Biro Hukum, bukan ke instansi teknis karena kami ingin dapat pembanding apakah ada aturan hukum sehingga lahan kritis Bali tergolong rendah,” kata Edy didampingi Irwan Faisyal, Ahmad dan Jahidin.

Koleganya di Pansus Raperda Lahan Kritis Irwan Faisyal menanyakan apakah RTRW juga berperan di sini? Putu Suarta menyatakan, RTRW di Bali yang disahkan pada 2009 memang mengarahkan lahan dan kawasan Bali harus menunjang sektor kepariwisataan sebagai sektor prioritas di provinsi ini.

Karena itu sektor industri (non wisata), perkayuan, apalagi pertambangan –yang banyak merusak hutan dan melahirkan lahan kritis di Kaltim-- tak ada di Bali. RTRW menjadi panduan dalam pemanfaatan kawasan.

“RTRW juga menjadi kunci di Bali. Kaltim segera mengesahkan Perda RTRW. Mari sama-sama berharap Perda RTRW dalam aplikasinya juga bisa menahan laju pertambahan lahan kritis di Kaltim,” kata Irwan yang juga anggota Pansus Raperda RTRW.

Dalam catatan Pansus Lahan Kritis, data terakhir pada 2010 menyatakan lahan kritis di Kaltim mencapai 6 juta hektare. “Ini jumlah yang tinggi,” kata Dadang Imam Ghozali, Staf Ahli Pansus yang mendampingi studi banding tersebut. (Humas DPRD Kaltim/adv)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015