Jakarta (ANTARA Kaltim)  – Perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta namun beroperasi di Kaltim sebenarnya bisa saja membayar pajak di Kaltim. Caranya, sub nomor pokok wajib pajak (NPWP) perusahaan tersebut diterbitkan di Kaltim.

Dengan cara ini, persoalan klasik yang kerap dikeluhkan untuk perusahaan yang operasionalnya di Kaltim namun membayar pajak untuk pemerintah Jakarta bisa diatasi.

“Cara ini sebenarnya sudah pernah kami sampaikan ke Dispenda Kaltim. Memang sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta namun operasinya di Kaltim ini harus intens,” kata Zainudin, Kasi Dana Bagi Hasil (DBH) Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan saat berdialog dengan rombongan Komisi II DPRD yang melakukan kunjungan kerja, Rabu (13/5).

Rombongan Komisi II DPRD Kaltim terdiri atas ketua Komisi II Edy Kurniawan, anggota Rusman Yaqub, Suterisno Toha, Ali Hamdi dan Marthinus.

Dalam dialog, Edy menyinggung soal banyaknya perusahaan yang beroperasi di Kaltim, namun membayar pajak di Jakarta. Padahal perusahaan dimaksud tergolong besar, memiliki ribuan karyawan dengan aset ratusan miliar hingga triliunan rupiah.

“Malah nomor polisi kendaraannya pun dari luar Kaltim. Pakai jalan di Kaltim, tapi bayar pajak bukan di Kaltim,” keluh Edy.
 
Karena itu kata Edy, tak bisa disalahkan jika kemudian berkembang isu warga bisa saja menutup operasi perusahaan, karena sumbangsih kepada daerah tak sebanding dengan persoalan sosial dan lingkungan yang ditinggalkan. Apalagi sebagian besar perusahaan dimaksud berbasis ekspolitasi sumber daya alam di Kaltim.

Menurut Zainudin, persoalan serupa ini bukan cuma ada di Kaltim. Karena itu, katanya, Dirjen Keuangan beberapa waktu memberi solusi seperti disebut di atas.

Persoalannya, kata dia, daerah harus proaktif menjemput bola, dan bisa saja dengan menerbitkan payung hukum. Misalnya peraturan daerah. “Bisa juga diminta agar bendahara perusahaan dimaksud berkantor di Kaltim. Jadi pajak penghasilan langsung dipotong di Kaltim,” katanya.

Sementara mengenai usul Komisi II agar daerah mendapatkan dana bagi hasil dari pajak atas ekspor crude palm oil (CPO) yang selama ini tak pernah mengucur ke daerah, menurut Zainudin hal tersebut sangat dimungkinkan masuk sebagai bahan untuk revisi UU No.33/2004 yang sudah diusulkan Kementerian Keuangan ke DPR dan telah masuk dalam RUU prioritas Prolegnas 2015.

Selama ini kata Edy, pajak CPO yang di Kaltim per tahun bisa mencapai Rp 9 triliun sepeser pun tak mengucur ke daerah. Kalau saja pajak ini bisa masuk dalam komponen dana bagi hasil sebagaimana migas, Kaltim akan mendapat ruang fiskal baru.

“Kami diminta mengurusi produksi, mulai hal yang berkait penanaman hingga replanting. Jika ada masalah sosial  di perkebunan itu juga tanggung jawab kami. Tapi giliran ada pajaknya, Kaltim tak dapat apa-apa,” katanya.

Selain persoalan tersebut di atas, dialog juga menyinggung rencana revisi UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selama ini dianggap kurang berpihak kepada daerah.

Rusman Yaqub dan Ali Hamdi menyatakan hal senada. Keduanya berharap revisi UU No.33/2004 harus memberi keadilan kepada daerah. “Kami ingin perimbangan yang proporsional. Kaltim memberi ratusan triliun rupiah, seharusnya yang kembali cukup untuk membangun Kaltim. Tidak seperti sekarang,” kata Rusman. “Kalau revisi UU No.33/2004 tak lebih baik buat daerah, lebih baik tak usah direvisi,” tambah Ali Hamdi. (Humas DPRD Kaltim/adv/oke)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015