Di Kampung Lokdam, Sepaku Lama, Sepaku, Kalimantan Timur, masyarakat adat Suku Balik kini hidup dalam kenangan bahwa pada satu waktu di masa lampau, mereka pernah hidup dari hutan dan segala isinya.

Karena perubahan zaman, hutan yang dulu jadi jantung kehidupan, tempat mereka berburu, menanam, dan bernafas, kini tinggal kenangan.

“Sekarang hampir semuanya hilang. Hutan kami masuk dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan kemudian Hutan Tanaman Industri (HTI),” kata Sekion, tokoh masyarakat dan Orang Balik di Lokdam.

Kata ‘lokdam’ berasal dari ‘log dump’ alias lapangan tempat penumpukan kayu log (hasil tebangan yang masih berbentuk batang kayu utuh, kayu bulat). Pemukiman di Lokdam muncul di sekitar logdump PT ITCI di masa penebangan kayu mencapai puncaknya di sepanjang tahun 1970-an.

Sekion berusia 67 tahun. Lelaki ini lahir pada tahun 1957 dan merupakan salah seorang dari sedikit penutur fasih Bahasa Balik yang masih hidup.

Oleh komunitas Balik, Sekion adalah pejuang pelestarian bahasa dan budaya Balik. Ia melakukannya terutama dengan memberi teladan, dengan menjaga tradisi berbahasa Balik di rumah dengan mendorong anak-cucunya untuk mengenal dan menggunakan bahasa leluhur itu.

Sekion adalah tokoh adat, penjaga identitas spiritual, dan pengingat ekologis Suku Balik.

Lini masa yang dibicarakan Sekion adalah akhir dekade 1960-an, awal dasawarsa 1970-an. Di akhir zaman Orde Lama itu, di Sepaku, datang untuk menebang hutan berbagai perusahaan, dan satu yang terkenal adalah PT ITCI alias International Timber Corporation Indonesia, perusahaan penanaman modal asing dari Amerika Serikat.

Sekion pun bernostalgia. Dulu, ujarnya, hutan menyediakan rotan, damar, buah, dan hewan buruan. Kini, ladang tradisional pun sulit dibuka karena satu caranya adalah membakar sisa batang dan ranting kayu, juga semak di lokasi ladang.

Sementara sekarang praktik membakar untuk membuka lahan dilarang sebab polusi udara yang ditimbulkan. Belum lagi risiko kebakaran meluas dan tidak terkontrol. Juga karena luasan lahan yang bisa dibuat ladang semakin menyusut.

Tahun 1980-an hutan tanaman industri mulai menggantikan hutan alam. Perusahaan menanam eukaliptus dan akasia untuk dijadikan pulp atau bubur kertas, bahan baku pembuatan kertas. Tanaman kelapa sawit juga mulai lebih luas ditanam. 

Perubahan bentang alam, perubahan vegetasi atau tanaman yang tumbuh di permukaan tanah, dari semula hutan hujan tropis yang lebat dengan sangat berbagai jenis tumbuhan, lalu menjadi hutan tanaman yang monokultur dan perkebunan kelapa sawit, membuat perubahan-perubahan ekologis yang tak terbantahkan.

“Dulu hujan tiga hari tiga malam baru banjir. Sekarang, dua jam saja sudah banjir,” kata Harianto, pengurus sekolah adat.

Menurut catatan studi oleh Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) tentang wilayah Sepaku, banjir sudah terjadi sejak 1970-an. Penyebabnya daya tampung air sungai menurun akibat sedimentasi dan jumlah air yang masuk Sungai Sepaku bertambah karena berkurangnya daya serap air tanah sebagai akibat pembukaan lahan.

“Genangan air dulu cuma satu hingga empat jam. Sekarang bisa lebih dari 10 jam. Bisa seharian,” ujar Jakiah, warga RT 2.

Total warga terdampak banjir pada Juni 2024 mencapai 335 keluarga atau 1.228 jiwa. Pemerintah berjanji akan membenahi Daerah Aliran Sungai (DAS) Sepaku dan menggandeng peneliti Belanda untuk kajian teknis.

Hingga Oktober 2025, Proyek Intake Sepaku dan perbaikan aliran sungai masih dalam tahap konstruksi dan normalisasi. Banjir belum hilang, bahkan dalam beberapa kejadian lebih lama genangannya.

Hanisa, perempuan adat, kemudian menyebut krisis air bersih sebagai masalah baru. Sungai yang dulu bisa memenuhi kebutuhan air warga, tak bisa lagi diakses. Sebagai gantinya, warga harus membeli air, atau menampung air hujan.

Di tengah semua itu, Sekion yang memang cendekia, melihat masalahnya hingga ke akar. Selama lebih dari setengah abad ini, masyarakat adat hanya jadi obyek untuk diatur-atur dan kemudian diambil ruang hidupnya seolah-olah mereka tidak pernah ada.

Bahkan sesuatu yang sebenarnya wujud dari kehadiran negara mengakomodasi warganya seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masih terus tertunda pengesahannya.

“Kami hanya menyaksikan kekayaan alam kami diambil dan diangkut, sementara hidup kami tak berubah jadi lebih baik,” kata Sekion.  

Pengesahan RUU tersebut, dan kemudian pelaksanaannya, ujarnya, adalah pengakuan resmi oleh negara akan keberadaan mereka berikut hak-hak yang melekat di dalamnya.

“Dengan begitu keadilan sosial, satu pilar Pancasila, ditegakkan,” ujarnya.

Sementara itu, pada generasi yang lebih muda, perubahan yang datang ke Sepaku coba dihadapi dengan mata terbuka.

“Zaman sudah berubah. Kita harus bisa menyiasati agar bisa terus ada dan bertahan,” kata Wakil Ketua Lembaga Adat Paser Sepaku Supian Nur.

Di sisi lain, ada hal yang setidaknya lebih pasti. Menurut Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri, pihaknya tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Kepala (Ranperka) Otorita IKN agar tercipta kepastian hukum bagi kearifan lokal di ibu kota baru Indonesia.

Juga sebagai wujud pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal dalam mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara agar selaras dengan alam.

"Jika membahas kearifan lokal, tentu saja kompleksitasnya tinggi karena yang dihadapi adalah masyarakat dan adat yang memiliki sejarah masing-masing. Tapi, IKN akan terus berusaha untuk membangun sistem terbaik, bahkan berkomunikasi secara terbuka untuk memudahkan masyarakat agar tetap selaras dengan alam dan inklusif," jelas Myrna.

Sambung Myrna, konsep Ranperka Otorita IKN disampaikan kepada seluruh unsur pemerintah, lembaga, organisasi, dan masyarakat terkait untuk mendapatkan saran dan tanggapan guna penyempurnaan draf kebijakan dan bisa dilaksanakan di lapangan.

Otorita IKN berkomitmen untuk tidak menghilangkan apa yang sudah ada di masyarakat, pembahasan akan terus dilakukan di internal IKN dan dengan kementerian/ lembaga lain, guna menemukan jalan terbaik dalam perlindungan kearifan lokal.

"IKN selalu terbuka untuk terus berdiskusi dan berdialog kepada masyarakat. Karena bagaimanapun kebijakan yang dibuat akan berdampak kepada masyarakat. Jadi kami selalu mencoba untuk meminimalkan persoalan dan mengoptimalkan komunikasi seperti ini sampai kebijakan ditetapkan," kata Myrna.

Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono, menyatakan komitmen otorita untuk melaksanakan pembangunan yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika, yaitu IKN merupakan perwujudan budaya nasional yang memberi ruang pada kebudayaan lokal.

"Pembangunan IKN dilaksanakan secara holistik atau menyeluruh. Tidak hanya fisik, tapi termasuk pada pembangunan sosial dan lingkungannya," kata Basuki tentang konsep kebudayaan dan konservasi dalam membangun IKN sebagai kota hutan berkelanjutan.

Basuki menjelaskan, IKN akan menjadi "living lab" untuk membangun kota dengan konsep-konsep terbaru.

“Bagaimana konsep-konsep itu akan saling berinteraksi, dari sosial, budaya, ekonomi, teknologi, dan sebagainya akan sangat menarik,” tambahnya.

Bahkan, Basuki Hadimuljono memastikan terdapat kawasan cagar budaya di tanah masyarakat adat IKN. "Kami membuka kemungkinan adanya heritage area," ujarnya lagi.

Basuki menegaskan, masyarakat adat atau lokal di wilayah itu tetap merupakan warga IKN. Dia juga berusaha semaksimal mungkin untuk menaikkan taraf kehidupan warga dan suku lokal.

Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara juga telah berupaya melestarikan adat istiadat lokal dengan membuat payung hukum, yakni berupa Peraturan Daerah atau Perda Nomor 2 Tahun 2017.

Regulasi tersebut berisi mengenai pelestarian dan perlindungan adat serta budaya lokal. Dengan adanya payung hukum itu, maka Suku Balik tidak perlu khawatir tergusur dari wilayah adat atau tempat tinggal karena keberadaan IKN. 

Pewarta: Novi Abdi

Editor : M.Ghofar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2025