Bandung (ANTARA Kaltim) – Kunjungan kerja Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kaltim dengan tujuan menggali informasi  struktur APBD Provinsi Jawa Barat (Jabar) tahun anggaran 2015, pergub Jabar mengenai tarif perjalanan dinas, serta jaminan kesehatan setelah diterbitkannya undang-undang jaminan kesehatan (BPJS) berlangsung di ruang pertemuan banggar gedung DPRD Jabar.

Rombongan Kaltim dipimpin Wakil Ketua DPRD Kaltim Andi Faisal Assagaf dengan anggota, Edy Kurniawan, Sapto Setyo Pramono, Hermanto Kewot, Muhammad Adam, Baharuddin Demmu dan Herwan Susanto.

Diterima Oleh Wakil Ketua DPRD Jabar Abdul Harris Bobihoe dan Sekretaris DPRD Ida Hernida, rombongan mendapatkan penjelasan bahwa total besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jabar sejatinya belum mencukupi jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk.
 
“Total PAD Jabar adalah 23,9 triliun. Jumlah itu berasal dari berbagai lini pemasukan daerah. Jumlahnya memang tinggi tetapi jika dibandingkan dengan total penduduk Jabar sebanyak 45 juta jiwa, jumlah itu terasa kecil,” ungkap Abdul Harris Bobihoe. Detailnya anggaran itu berasal dari pemasukan langsung Rp15,8 miliar, pajak Rp14,9 miliar, retribusi Rp 62 miliar, dan pengelolaan SDA Rp227 miliar, kemudian dari dana perimbangan Rp 2,5 triliun, dan pendapatan lainnya termasuk dana otonomi daerah sebesar Rp 5,5 triliun.

“Itu belum termasuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat,” tambahnya.
Kondisinya berbalik dengan Kaltim yang dalam tiga tahun berturut-turut telah kehilangan DAU.
“Anggapan di pusat bahwa fiskal kaltim telah mencukupi sehingga tak diperlukan suntikan DAU, sebenarnya malah menurunkan support untuk pembiayaan pegawai di Kaltim,” timpal Muhammad Adam.

Terkait tarif perjalanan dinas, seperti halnya Kaltim, DPRD Jabar juga mentok pada ketetapan Permenkeu bahwa anggaran sehari akomodasi sebesar Rp430 ribu sehari, sudah termasuk biaya makan.

“Terkesan uang makan mengecil tetapi sebenarnya untuk biaya menginap jadi lebih tinggi,” papar SekretarisDPRD Jabar Ida Hernida.

Menurutnya, di DPRD Jabar, jatah perjalanan daerah anggota sudah ditetapkan maksimal 12 hari dalam satu bulan. Yakni, 10 hari perjalanan dalam daerah dan 2 hari ke Jakarta. Jumlah itu di luar maksimal jatah 4 kali setahun kunker kerja bagi anggota pansus. Dengan begitu rata-rata setiap 20 hari, anggota DPRD Jabar melakukan perjalanan dinas. “Besar SPPD-nya tetap mengacu pada anggaran di pusat tadi. Memang sering menjadi keluhan bahkan hampir di semua daerah Tanah Air. Tetapi kami di Jabar mau tidak mau harus menyesuaikan,” tambah Ida.

Hal lain yang menjadi pembahasan adalah fasilitas BPJS bagi anggota DPRD Jabar. Meski diakui telah menggunakan jasa dukungan dana dan asuransi kesehatan tersebut, DPRD Jabar tak semerta-merta menelan langsung prosesnya. Ada beberapa hal yang hingga kini masih menjadi bahan godokan hingga di pusat.Salah satunya adalah kondisi syarat BPJS yang dianggap masih membingungkan.

“BPJS akan menanggulangi all in biaya pengobatan jika masuk kategori sakit parah. Nah kategori ini harus melalui proses pemeriksaan sesuai aturan,” urai Ida. Sayangnya kondisi itu bisa kabur seandainya anggota DPRD Jabar sedang sakit saat melakukan kunjungan kerja luar daerah. Jika dirujuk ke UGD dan ditetapkan tidak terlalu parah, maka kewajiban BPJS membayar biaya perawatan, dianggap gugur. Jadi batasan parah atau ringannya kadar sakit ini yang masih rancu.

“Apa iya jika tidak bisa dirujuk di daerah tujuan kunker, harus dipulangkan lagi untuk pemeriksaan lanjut di daerah asal? Nah kondisi inilah yang masih kami godok di internal,” tambahnya.

Menurutnya, pihaknya juga mengusulkan solusi tengah agar kondisi tadi bisa mendapat jalan keluar. Yakni fasilitas klinik awal.

“Lewat fasilitas ini, merata di semua daerah pemeriksaan anggota DPRD bisa dilakukan dengan protap yang sama. Dengan begitu tolok ukurnya di BPJS juga semakin mudah,” jelasnya. (Humas DPRD Kaltim/adv/dhi/oke) 

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015