Surabaya (ANTARA Kaltim) - Komisi II DPRD Kaltim mengkaji ulang rencana pengelolaan migas di Blok Mahakam menggunakan pola participant interest (PI) sebesar 10 persen dalam memberikan hak kepada daerah penghasil.

Menurut Edy skema PI bisa jadi bukan yang terbaik. Karena Ada beberapa alternatif .“PI boleh, tapi itu untuk blok lain yang baru akan dikelola.

Tapi tidak diterapkan untuk Blok Mahakam. Sebab blok ini pengelolaannya sudah berjalan, sehingga bukan keharusan pengelolaan Blok Mahakam bagi daerah keikutsertaannya menggunakan pola PI,” urai Edy.

Pola PI tersebut berdasarkan PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, di mana kontraktor wajib menawarkan PI 10 persen  kepada Badan Usaha Milik Daerah. Namun pola PI itu, sebut Edy selain high cost, high politic, high risk, dan high technology. Kepentingan politik di dalamnya sangat kuat, sehingga dengan biaya besar yang artinya risikonya juga sangat tinggi. Pola tersebut juga mengharuskan teknologi tinggi .

“Kita punya Perusda Migas Mandiri Pratama. Sementara dalam aturan bahwa BUMD tersebut juga dengan catatan  memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk berpartisipasi.  Jika total investasinya senilai Rp 100 triliun, maka 10 persennya Rp 1 trilun. Bukan nilai yang kecil untuk pengelolaan Blok Mahakam,” kata Edy.

Demikian diutarakan Ketua Komisi II Edy Kurniawan, Selasa (16/12) lalu setelah pertemuan dengan PT Petrogas Jatim Utama bersama Pemprov Jatim.

Dalam pertemuan tersebut Komisi II didampingi Azmir Abu, kepala Biro Ekonomi Pemerintah Provinsi Kaltim dan perwakilan Perusda Kaltim PT Migas Mandiri Pratama. Hadir pula Sekretaris Komisi II Muspandi, dan sejumlah anggota Komisi yakni Ismail, Soetrisno Thoha, Sandra Puspa Dewi, Wibowo Handoko, Martinus dan Ahmad.

 Edy juga menyebutkan, soal rencana  kelanjutan pengelolaan oleh PT Pertamina sebagai BUMD Nasional, Komisi II mengingatkan harus ada keseriusan juga untuk membela hak dan kepentingan daerah penghasil. Jika pun akhirnya pola PI yang diterapkan, Edy secara tegas mengingatkan menggandeng pihak ketiga harus dengan pihak yang dapat dipertanggungjawabkan komitmennya.

 Namun kembali ke aturan teratas, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3  bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

“Kalaupun tanpa pola PI, masih banyak opsi lain yang dapat ditawarkan demi memberikan hak bagi daerah penghasil. Hak tersebut bukan hanya hasil pendapatan dari keuntungan pengelolaannya. Namun bagaimana agar memberikan skill di bidang terkait, atau bahkan pengelolaan hilirnya,” tandasnya.

 Namun demikian, merujuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa kontrak kerjasama dalam pengelolaan wajib memperhatikan pengembangan masyarakat sekitar.

Sehingga memang sebagai daerah penghasil, Kaltim memiliki hak atas pengelolaan Blok Mahakam.
Oleh karena itu untuk mendapatkan hak daerah penghasil, option yang bisa diambil adalah golden share.  
Edy menjelaskan, bahwa golden share tersebut bisa dengan meminta  7,5 persen divestasi saham milik Pertamina dari hasil pengelolaan Blok Mahakam. “Ini yang kami (Komisi II) sebut golden share. Nilai tersebut dibawah pola PI, pola ini bisa menjadi alternatif  jika pola PI tidak dimungkinkan karena berbagai pertimbangan,” sebut Edy.

 Senada, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim Ali Hamdi juga mengimbau agar berhati-hati dalam menentukan pola keikutsertaan Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan Migas di Blok Mahakam. Wacana pengelolaan dengan pola PI yang artinya penawaran 10 persen kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menurut Ali Hamdi perlu ditinjau kembali.
“Pola participant interest sebesar 10 persen tidak serta-merta memberi keuntungan bagi Kaltim. Lagi pula pola ini diwajibkan bagi pengelolaan blok-blok baru saja. Khusus untuk Blok Mahakam sebaiknya dengan pola lain yang lebih safety,” kata Ali.

 Senada, Suterisno Thoha Anggota Komisi II juga berpendapat dengan golden share, pola ini merupakan solusi mengalihkan berbagai resiko yang cukup besar, namun kita sebagai daerah penghasil tetap mendapatkan hak dari hasil pengelolaan. “Walaupun nilainya dibawah 10 persen kita tidak dihadapkan tingginya risiko, tingginya biaya, tingginya teknologi dan kentalnya muatan politik. Beban APBD kita sudah cukup berat, lebih baik untuk kepentingan lain yang lebih mendesak,” kata Soetrisno. (Humas DPRD Kaltim/adv/lia/oke)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014