Jakarta (ANTARA Kaltim) - Beberapa masukan penting didapatkan rombongan Komisi I DPRD  Kaltim saat kunjungan kerja sekaligus konsultasi terkait masalah kehutanan Kaltim di Kementerian kehutanan Republik Indonesia di Jakarta Kamis (14/8) kemarin.

Diketahui, dengan luas  hutan  sekitar 14.981.978  hektare, hutan di Kaltim  terbagi menjadi   enam   jenis   hutan. Yaitu hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata. Kemudian ada hutan produksi terbatas,  hutan  produksi  tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan pendidikan/penelitian.
 
Terluas adalah  hutan  produksi  terbatas dan hutan produksi tetap, masing- masing 5.121.688 ha dan 4.899.476 ha. Hutan   terluas  ada di Kabupaten Malinau dengan luas areal hutan mencapai 3.930.293 ha. Tentu saja dengan area seluas itu beragam permasalahan kehutanan dialami Kaltim.

Berbekal beragam persoalan yang ditemui langsung di lapangan dan juga berdasarkan laporan pemerintah daerah, rombongan Komisi I yang diketuai Yahya Anja, dengan anggota Rakhmat Majid Gani, Arsyad Thalib, Gunawarman, Sarifah Masitah Assegaf, Sonny Setiawan, Suwandi dan Syaparudin melakukan konsultasi langsung di kementerian ini.

“Kondisi hutan kaltim yang dulunya adalah wilayah kehutanan potensial. Kini dengan pengembangan batu bara banyak kasus sengketa dan benturan terjadi yang berhubungan dengan lahan yang diklaim masyarakat. Inilah salah satu poin yang kami sampaikan,” ungkap Gunawarman.

Tak hanyaitu, konsep hak pinjam pakai kawasan hutan yang konon di Kaltim kini perizinannya mulus ditangan aparat tertentu, juga dipertanyakan. Hal lainnya, status hutan yang bakal dilalui jalan tol di Tahura Bukit Soeharto dan area hutan yang akan dibuka untuk akses jalan baru, ditanyakan oleh Arsyad Thalib.  

Menanggapi beberapa pertanyaan itu, Kementerian Kehutanan yang diwakili Direktorat Penyuluhan dan Penetapan Kawasan Hutan Muhammad Said memaparkan, Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kaltim yang menjadi dasar dari seluruh pertanyaan tadi, sebenarnya sudah terbahas.

Di dalamnya sudah termaktub beberapa kawasan yang mengalami perubahan yang prosesnya telah selesai di Kementerian Kehutanan.

“Bahkan RTRWP itu sudah melaluipersetujuan DPR beberapa waktu lalu. Jadi kajiannya telah rampung di Kementerian Kehutanan,” paparnya.

Menurutnya, seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan RTRWP telah ditelaah dengan sangat teliti, sehingga meminimalkan dampak kerusakan yang akan terjadi pada saat pembangunan. Meskipun ada, dampak tersebut tidaklah signifikan. Terlebih erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan dan deforetasi hutan.

Ditambahkan Said, meski Kementerian Kehutanan adalah lembaga resmi terkait, tetap saja aturan baku dari semua perihal terkait kehutanan daerah, semuanya berawal dari kebijakan dan telaah daerah itu sendiri.

Bahkan seorang bupati, punya hak untuk mencabut hak pinjam pakai kawasan kehutanan sebuah perusahaan dikarenakan hal yang berdampak buruk ke daerah.
Ia pun menajamkan jika persoalan kehutanan daerah memang sebaiknya dituntaskan di tingkat daerah dahulu sebagai pihak yang berwenang. Berdasarkan kajian, telaah dan di tingkat daerah itu lewat SKPD terkaitlah, nantinya keputusan akhir bisa sampai ke pusat.

“Kehutanan posisinya paling ujung karena yang paling vital adalah izin pemerintah daerah atau bupati. Sebagai contoh, pernah ada kasus di PPU Kaltim di mana izin yang sudah dikantongi perusahaan, karena sesuatu dan lain hal, izinnya dicabut oleh bupati,” tambahnya.

Bahkan, menurutnya terkait sengketa lahan kehutanan seluas apapun, penyelesainnya harus melalui peran penting masing-masing dari bupati hingga di tingkat kementerian. (Humas Prov kaltim/adv/dhi/oke)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014