MESKI upacara adat seni dan budaya Erau secara resmi baru dibuka pada Minggu (15/6), namun beberapa rangkaian ritual adat sudah dilaksanakan untuk menyambut pesta adat dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura tersebut.

Ritual Menjamu Benua, digelar beberapa hari menjelang pembukaan Upacara Adat Erau 2014, digelar 

Koordinator Upacara Adat Sakral Erau Awang Demang Natakrama mengatakan, menjamu benua bermakna memberi makan kepada para gaib yang juga mendiami wilayah Kutai Kartanegara. 

Sekaligus katanya, untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Esa agar Sultan dan kerabatnya diberikan keselamatan, demikian juga masyarakat Kutai Kartanegara atau orang berkunjung ke Tenggarong .

“Ritual ini bermakna memberi makan gaib yang juga tinggal di Odah Etam ini, sekaligus memberitahukan kepada gaib tersebut bahwa Erau akan dilaksanakan," jelasnya disela-sela prosesi.

Sebelum prosesi adat Menjamu Benua dimulai, para pelaksana upacara adat yang terdiri dari 7 orang Belian (ahli mantra laki-laki) dan 9 orang Dewa (ahli mantera perempuan)  terlebih dahulu menemui Sultan Kutai H Aji Muhammad Salehuddin II di kediamannya untuk meminta restu.

Sultan pun memberi restunya dengan menghambur beras kuning ke arah para pelaksana upacara itu. 

Sultan juga menyerahkan pakaian sehari-harinya berupa selembar baju, sepotong celana panjang dan kopiah untuk dibawa dan disertakan dalam upacara Menjamu Benua.

"Pakaian Sultan yang kami bawa itu sebagai tanda bahwa Menjamu Benua ini merupakan amanat dari Sultan," terangnya.

Ritual tersebut dilepas langsung oleh Sultan H A M Salehuddin II di kediamannya pukul 15.00 wita, kemudian rombongan Belian dan Dewa yang diiringi tetebuhan alat musik tradisional dengan mengendari mobil "pick up" dan sebuah bis bergerak ke Hulu Benua (Desa Tanah habang, Mangkurawang), kemudian ke Tengah Benua (pelabuhan depan Museum Mulawarman) dan terakhir ke Hilir Benua (sebelah hilir Jembatan Kartanegara) untuk melakukan prosesi Menjamu Benua ini.

Di tiga lokasi menjamu benua tersebut disediakan semacam balai utama berbentuk kerucut dengan atasnya datar segi empat, terbuat dari batang kayu seukuran ibu jari kaki orang dewas dan rangkaian janur kuning untuk menaruh sesajian diantaranya berupa ayam bakar utuh, tujuh piring ketan putih dengan telur ayam diatasnya, wajik (ketan yang dimasak dengan gula merah) dan beraneka kue tradisional.  

Selain itu, ada dua balai kecil di sisi kiri kanan balai utama, yaitu diletakkan menggantung menghadap ke sungai Mahkakam dan yang satu lagi bertumpu pada satu tiang. 

Isi dua balai kecil tersebut yaitu darah ayam yang dimasukkan dalam wadah terbuat dari daun pisang, nasi aneka warna yang disusun melingkar diatasnya terdapat telur serta air. 

Setelah perlengkapan dan sajian lengkap tertata diatas balai, salah satu Belian dan Dewa membacakan mantera diiringi tetabuhan gendang. 

Nuansya magis makin terasa ketika asap dupa yang juga perlengkapan ritual mengepul disekitar tempat acara. 

Sesekali, para Belian dan Dewa menghamburkan beras kuning dan memercikkan air kearah balai.   

“Para Belian dan Dewa berkomunikasi dengan para gaib dengan mantra dan simbol untuk memberi tahu bahwa Erau akan digelar,” pungkasnya. 


Ritual "Merangin"

Salah satu keunikan dari pesta adat, seni dan budaya Erau di Kutai Kartanegara yakni, bukan hanya orang-orang di dunia nyata saja yang diundang  tetapi makhluk selain manusia pun tak lupa diberitahu melalui ritual Merangin.

Ritual Merangin itu digelar selama tiga malam yakni sejak mulai Rabu (11/6) malam hingga Sabtu (14/7) malam mendatang, kecuali malam Jumat. 

Upacara adat Merangin tersebut dimulai sejak pukul 20.00 WITA dipusatkan di Serapo Belian yaitu bangunan kayu beratap daun nipah yang terletak di samping Keraton Kesultanan Kutai atau Museum Mulawarman Tenggarong. 

Merangin melibatkan 7 orang Belian (sebutan untuk laki-laki ahli Mantera dalam bahasa Kutai) laki-laki dan 7 orang Dewa (sebutan untuk perempuan ahli Mantera).

Pimpinan Dewa, Arbaenah mengatakan acara Merangin adalah ritual pendahuluan yang wajib dilaksanakan menjelang Erau, tujunnya adalah mengundang makhluk gaib untuk ikut serta dalam kemeriahan Erau.

“Merangin malam pertama ini, gunanya untuk memberitahu makhluk gaib yang berada di langit bahwa sebentar lagi Erau dilaksanakan,” ujar Arbaenah yang tahun ini berusia 85 tahun itu saat ditemui usai melaksanakan Merangin ke I, Rabu (11/6) malam lalu.

Arbaenah menjelaskan bahwa pada malam kedua, Merangin bertujuan untuk memberitahu makhluk gaib yang berada di tanah, misalnya yang menghuni pepohonan, batu, serta di gunung.

Sedangkan pada Merangin malam ke tiga ditujukan untuk memberitahu makhluk gaib yang berada di air, lalu dikumpulkan ketiga makhluk gaib penghuni langit,tanah dan air tersebut.

Upacara adat Merangin ini diawali dengan pembacaan "Memang" (mantera) oleh salah satu dari tujuh Belain Laki yang mengelilingi Binyawan yang diletakkan di tengah bangunan.  

Sementara, Arbaenah pimpinan Dewa ikut dalam lingkaran tersebut membakar kemenyan tampak sesekali menghamburkan beras kuning.

Binyawan adalah alat utama dalam ritual Merangin berbentuk tiang terbuat dari bambu, dan dibalut janur kuning yang disusun dari bawah hingga ke atas sebanyak 7 tingkat. 

Di bagian atas Binyawan terdapat replika burung Enggang yang terbuat dari kayu. Sementara di bagian bawahnya terdapat replika kura-kura yang juga dibuat dari kayu. 

Peralatan lainnya yaitu di sisi pinggiran dalam Serapo Belian terdapat dua ayunan yang terbuat dari kayu dengan rotan sebagai penggantungnya. Salah satu ayunan diukir dengan ornamen Buaya yang disebut Romba, sedangkan satu ayunan lagi disebut Ayun Dewa.

Bunyi tetabuhan gendang dan gong berirama monoton yang terus mengalun mengiringi ritual itu menambah suasana magis semakin terasa dalam upacara adat itu. Apalagi ketika 7 orang Belian mulai berputar mengelilingi Binyawan yang diletakkan di tengah bangunan.

Ketika para Belian terus berlari keliling sambil memegangi batang Binyawan, tiang Binyawan itu pun ikut berputar pada sumbunya. Para Belian tampak sesekali menaiki Romba yang berputar makin lama makin cepat itu.

Sementara itu, para Dewa yang terdiri dari 7 orang wanita sesekali melempar beras kuning ke arah para Belian terus berputar mengelilingi Romba dengan cepat.

Upacara adat Merangin ini diakhiri dengan tarian Dewa Bini yang juga ikut mengelilingi Romba. Namun berbeda dengan para Belian, tarian Dewa ini dibawakan secara lemah gemulai.

Diakhir acara, Koordinator Sakral Keraton Kukar Awang Demang Natakrama mengatakan, acara adat Merangin tersebut merupakan rangkaian dari ritual adat Menjamu Benua yang telah dilakukan pada siang harinya, yang bermakna memberi tahukan kepada makhluk lain bahwa Erau akan digelar. (*)

Pewarta: Hayru Abdi

Editor : Masnun


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014