Bacalah biografi para negarawan, sastrawan, ilmuwan, seniman, pengusaha
atau tokoh-tokoh besar lainnya, entah di Indonesia atau tempat mana pun
di dunia, maka Anda menemukan fakta bahwa orang-orang besar hampir
selalu dibentuk oleh keluarganya, orang tua, ibunya.
Tidak ada
sekolah yang paling efektif dalam membentuk orang-orang paling sukses di
sekitar kita, kecuali rumah, kecuali orang tua. Anda boleh saja belajar
di sekolah paling elite, tapi tanpa intervensi keluarga, Anda tak akan
menjadi apa-apa.
"Rumah adalah universitas dan orang tua adalah
gurunya," kata negarawan besar Mahatma Gandhi yang juga produk orang tua
yang peduli kepada perkembangan mental spiritual anaknya yang dengan
kepedulian itu telah meletakkan fondasi kuat dalam membentuk keagungan
sosok Mahatma Gandhi.
Terlalu banyak cerita yang menguakkan fakta
betapa orang tua adalah arsitek utama di balik orang-orang besar di
dunia, mulai penemu, seniman, pemimpin, sampai para penakluk dunia.
Keluarga,
seperti disebut Mahatma Gandhi, adalah sekolah yang pada era
kontemporer ini umum menjadi mitra penting sekolah dalam bagaimana
anak-anak dididik menjadi orang-orang yang lebih baik dari generasi
sebelum mereka.
Di banyak negara maju, kesadaran terhadap
konstruksi penting hubungan keluarga atau orang tua dengan sekolah
menempati tempat instrumental dalam sistem pendidikan sehingga mereka
bisa menghasilkan generasi berkualitas yang bahkan menjadi aktor-aktor
penting dalam banyak teater kehidupan dunia.
Kesadaran mengenai
pentingnya keluarga dalam pendidikan itu ditopang oleh
penelitian-penelitian ilmiah yang mempertebal keyakinan bahwa memang ada
hasil yang sama sekali berbeda antara pendidikan yang melibatkan
hubungan kuat keluarga dan sekolah, dengan hasil pendidikan yang semata
menggantungkan kepada sekolah.
Salah satu penelitian yang
menguatkan argumentasi ini adalah riset tiga puluh tahun di Amerika
Serikat yang dipublikasikan pada Oktober 1997 oleh National Committee
for Citizens in Education yang memastikan keterlibatan keluarga memang
berpengaruh besar terhadap pencapaian positif anak di sekolah.
Menurut
penelitian itu, ketika keluarga terlibat dalam pendidikan anak, maka
anak menjadi lebih berprestasi dengan nilai ujian lebih bagus, lebih
rajin masuk sekolah, lebih ingin menyelesaikan pekerjaan rumah,
menunjukkan sikap dan prilaku lebih positif, lulus sekolah dengan nilai
tinggi, dan lebih besar kemungkinan melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi, ketimbang anak yang keluarganya tidak begitu terlibat dalam
pendidikan anaknya.
Satu penelitian lainnya dari Center for
Public Education di Amerika Serikat pada 2003 menyimpulkan bahwa dua per
tiga guru-guru AS meyakini anak didik mereka akan lebih berprestasi di
kelas jika orang tua si anak terlibat dalam pendidikan anaknya,
sebaliknya 72 persen anak yang orang tuanya tak terlibat dalam
pendidikan mengalami kesulitan dalam mengikuti kelas.
Ini fakta
ilmiah menarik yang menguatkan asumsi bahwa orang tua atau keluarga
mempunyai hubungan tegak lurus dengan hasil positif anak di sekolah.
Ini
karena keluarga atau orang tua, mengutip pakar psikologi terkenal Lev
Vygotsky, adalah mitra didik anak yang amat penting dalam kehidupan anak
mengingat anak belajar berinteraksi dengan "mitra-mitra yang dapat
dikenalnya" dan orang tua adalah bagian utama dalam kemitraan ini.
Mengingat anak banyak menghabiskan waktu dengan orang tuanya, maka orang
tua pun dituntut menjadi model prilaku positif untuk anaknya.
Kerja komprehensif
Dari
perspektif-perspektif inilah sistem pendidikan modern seperti juga
berlaku di Indonesia sekarang, kian memberi tempat yang lapang untuk
orang tua guna berperan serta dalam pendidikan. Namun kesadaran itu
umumnya tumbuh di sekolah-sekolah unggulan, baik swasta maupun negeri.
Dalam kata lain, di Indonesia, kesadaran ini belum menyeluruh.
Namun
tetap saja tak bisa memungkiri kenyataan bahwa saat ini di Indonesia
tengah berkembang kesadaran bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang
memberikan tempat bagi orang tua untuk ikut terlibat dalam pendidikan
anaknya.
Ini sungguh perkembangan amat positif yang mesti
mendorong siapa pun, pemangku kepentingan mana pun, untuk mengelolanya,
terutama membangun fondasi atau menguatkan konstruksi hubungan keluarga
dengan pendidikan yang tidak kalah penting dengan investasi-investasi
materialistis dalam sistem pendidikan.
Robert D. Putnam, profesor
kebijakan publik terkemuka dari Universitas Harvard, Amerika Serikat,
sampai pernah menyatakan, seandainya harus memilih antara kenaikan
anggaran pendidikan 10 persen atau meningkatkan keterlibatan orang tua
dalam pendidikan sampai 10 persen, maka dia akan memilih yang terakhir.
Pendapat
itu juga dapat berlaku di sini, di Indonesia, yakni bagaimana
meningkatkan peran aktif keluarga dalam pendidikan anak, termasuk
menciptakan atmosfer rumah yang mendukung pendidikan anak. Tentu saja
ini tanpa mengecilkan arti penting infrastruktur dan fasilitas canggih
nan lengkap pendidikan.
Mengapa rumah dan keluarga penting
karena, setidaknya dari teori Toby Fattore, Jan Mason dan Elizabeth
Watson dalam "Children’s Conceptualisation(s) of Their Well-Being" pada
2007, “rumah adalah tempat yang mendefinisikan keluarga; tempat Anda
mendapatkan perawatan mendasar; tempat Anda merasa tenang dan menjadi
diri sendiri; tempat Anda memiliki sesuatu dan merasa bergembira;
idealnya tempat di mana Anda punya ruang untuk mengerjakan apa saja dan
merasa aman."
Dari rumah yang membuat anak amanlah akan muncul
anak-anak yang bergembira dan antusiastis belajar. Selain itu, hubungan
yang kuat dengan orang tua membuat anak merasa aman sehingga memberi
mereka rasa percaya diri dalam menerima pendidikan. Rasa berkeluarga dan
cinta anak pada keluarga inilah yang anak merasa aman untuk kemudian
nyaman dan menikmati proses pendidikan.
Tetapi mendorong
linkungan rumah yang mendukung pendidikan dan menciptakan
keluarga-keluarga yang turut aktif dalam pendidikan anak, membutuhkan
lebih dari sekadar kesadaran orang tua dan inisiatif sekolah atau
pendidik.
Sebaliknya kita memerlukan mekanisme dan pola yang
dilegitimasi oleh seperangkat aturan, entah undang-undang, Keppres,
keputusan menteri, atau peraturan daerah, yang tujuannya diarahkan
kepada dua hal; (1) untuk mendorong orang tua semakin tertaut dengan
sekolah, dan (2) untuk memberi ruang lapang kepada keluarga dalam
menciptakan atmosfer rumah yang mendukung pendidikan anak.
Dalam
konteks itu, pendidikan berkualitas yang merangsang keterlibatan aktif
keluarga adalah pekerjaan rumah semua pihak, terutama dalam kaitannya
dengan mendorong keluarga-keluarga sejahtera, khususnya dalam aspek
finansial.
Akhirnya, kita butuh sistem kebijakan yang tidak
berkutat dalam wilayah yang selama ini hanya menjadi medan bergerak
kementerian pendidikan, melainkan hampir semua sektor, karena pendidikan
berkualitas membutuhkan peran serta semua pihak dan kerja yang
komprehensif. (*)
Alasan Orang Tua harus Tertaut dengan Sekolah
Kamis, 20 Juli 2017 12:10 WIB