Jakarta (ANTARA News) - Dibandingkan dengan negara-negara maju
yang usia demokrasinya sudah ratusan tahun, demokrasi di Tanah Air boleh
diibaratkan masih seusia balita.
Sebagaimana karakteristik kesehatan balita, perjalanan demokrasi
di sini perlu dijaga, dirawat dan disehatkan oleh semua pemangku
kepentingan bangsa.
Pekan-pekan belakangan ini, tantangan atau ujian terhadap demokrasi
Indonesia kembali hadir dan mendorong Presiden Joko Widodo menyuarakan
tekadnya untuk tidak ragu-ragu melakukan tindakan tegas terhadap siapa
pun, ormas apa pun yang bertindak di luar konstitusi.
Jokowi akan menggebuk, tentu lewat tangan-tangan hukum, terhadap
kekuatan-kekuatan sosial politik yang hendak mewujudkan niatnya untuk
bertindak melampaui apa yang digariskan oleh konstitusi.
Untuk memberikan konteks atau duduk perkara yang gamblang, Jokowi
mengatakan bahwa dia dipilih oleh mayoritas rakyat lewat pemilihan umum
yang diakui keabsahannya.
Dengan memberikan konteks atau duduk perkaranya seperti itu, Jokowi
hendak memberikan sinyal kepada siapa pun bahwa upaya pelengseran atas
dirinya lewat cara-cara inskonstitusional, demo besar-besaran dengan
menuntut paksa parlemen atau lembaga politik tertinggi, layak ditindak
tegas.
Pernyataan Jokowi itu bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya
merawat demokrasi yang secara riil dipraktikkan setelah tumbangnya rezim
Soeharto pada 1998.
Publik mafhum bahwa secara politik institusional, posisi Jokowi
sebagai presiden tak tergoyahkan dan nyaris tak ada kekuatan oposisi
yang berarti di parlemen. Partai-partai pengusungnya ditambah dukungan
dari Partai Golkar membuat kedudukan politiknya tak tergoyahkan.
Bahkan Partai Golkar jauh-jauh hari menyatakan rencananya untuk
mengusungnya dalam Pemilihan Presiden 2019. Tentu manuver Partai Golkar
itu tak selalu mengenakkan karena seperti sedang cari muka. Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan rumah politik
Jokowi saja tak sekencang itu dalam dukung-mendukung calon presiden
mendatang.
Posisi yang mantap di ranah institusional itu tampaknya, dalam
demokrasi di Tanah Air yang masih balita ini, tak cukup memberikan
jaminan bahwa demokrasi akan mulus berjalan menuju tahap suksesi damai
berikutnya.
Aksi turun ke jalan-jalan yang dilakukan massa dalam jumlah sangat
besar, yang efektif dalam menuntut pengadilan terhadap Basuki Tjahaya
Purnama, yang akhirnya divonis penjara dua tahun oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Utara, oleh banyak kalangan dapat dimanfaatkan kembali untuk
menggoyang posisi Jokowi.
Turun ke jalan mengambil model masa-masa reformasi ini tidak terjadi sekali-dua, melainkan berkali-kali.
Di sinilah poin penting yang menjadi parameter apakah demokrasi
Indonesia akan selamat melewati masa dua tahun ke depan atau tumbang di
tengah jalan?
Perkara makar sempat membuat penegak hukum melakukan penangkapan
terhadap sejumlah tokoh politik yang sesungguhnya secara riil tak punya
kekuatan. Mereka yang ditangkap dalam aksi massa bukanlah para pemimpin
massa yang sedang berunjuk rasa.
Itu sebabnya, penangkapan terhadap mereka bisa dianggap sebagai
keseriusan pemerintah untuk menjaga demokrasi sekalipun penegak hukum
sangat mungkin menyadari bahwa orang-orang yang mereka tangkap bukanlah
oposan pemerintahan yang signifikan alias digdaya.
Dua tahun ke depan untuk menuju Pilpres 2019 bukanlah waktu yang
lama bagi proses demokrasi. Itu sebabnya, jika masa yang pendek itu
diwarnagi kegoncangan dalam bentuk pelengseran presiden lewat aksi turun
jalan, yang paling tercederai tak lain adalah demokrasi itu sendiri.
Artinya, pemangku kepentingan demokrasi, terutama kalangan elite
politik dan kaum terdidik di negeri ini, tak mampu merawat, menjaga dan
menyehatkan balita pememrintahan dari-oleh-untuk rakyat.
Ujian atau tantangan lain demokrasi yang tak kalah seriusnya adalah
penggunaan stigma komunis dalam pertarungan politik di luar jalur
politik resmi.
Lewat tangan-tangan tak kentara yang boleh jadi diamini oleh
lawan-lawan politik yang berada di jalur pranata politik resmi Jokowi,
stigma komunis masih terus diembuskan untuk menggerogoti legitimasi
keterpilihan Jokowi sebagai presiden sekaligus kemungkinan kandidat
capres dalam Pilpres 2019.
Dalam berbagai kesempatan Jokowi meluruskan irasionalitas
lawan-lawan politiknya bahwa ketika Partai Komunis Indonesia (PKI)
dibubarkan lewat Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1966, dia masih
kanak-kanak.
Tampaknya Jokowi tahu bahwa stigma irasional itulah yang akan
dijual lawan-lawan politiknya dalam merongrong legitimasi kepemimpinan
politiknya.
Isu-isu semacam itu, yang bersentuhan dengan dimensi keimanan,
karena komunisme dikesankan identik dengan ateisme, agaknya masih
gampang termakan oleh publik baik yang belum terpelajar maupun yang
terpelajar namun belum tercerahkan.
Ucapan Jokowi bahwa kalau PKI nongol, gebuk saja juga merupakan
antitesis terhadap stigma komunis yang digaungkan lawan-lawan
politiknya.
Musuh riil politik Jokowi sebenarnya bukan stigma semacam itu
tapi perkara kesejahteraan warga. Namun, andaikan persoalan
kesejahteraan itu relatif bisa terpecahkan, politisi yang berkompetisi
melawannya tak pernah berhenti mengganggunya dengan berbagai isu yang
dapat mendegradasi popularitas Jokowi.
Tampaknya, kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa isu sektarianisme
yang efektif dalam menumbangkan Basuki Tjahaya Purnama dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017 berkemungkinan digunakan untuk menggoyang legitimasi
kepemimpinan politik Jokowi dalam masa dua tahun ke depan tak perlu
ditanggapi terlampau serius.
Bukankah potret politik DKI Jakarta mutakhir hanya bagian kecil
saja di dalam lanskap politik keindonesiaan? Ini terlihat betapa kuatnya
gerakan berskala nusantara belum lama ini yang meneguhkan bahwa
sektarianisme bukanlah persoalan bangsa secara nasional. (*)
Ujian Bertubi-tubi Demokrasi
Kamis, 18 Mei 2017 16:59 WIB
...apakah demokrasi Indonesia akan selamat melewati masa dua tahun ke depan atau tumbang di tengah jalan?...