Yogyakarta (ANTARA News) - Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) menyebut kekuatan gempa bumi 6,5 Skala Richter (SR)
yang kemarin pagi mengguncang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, dan
sekitarnya setara dengan kekuatan empat hingga enam kali bom atom yang
dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang, pada Agustus 1945.
"Gempa
dangkal dekat bibir pantai tapi secara magnitude tidak sampai sebabkan
tsunami. Kekuatannya setara empat hingga enam kali bom Hiroshima,
karenanya bisa ratusan bangunan rusak," kata Manager Teknik Uji Numerik
Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT Widjo
Kongko di Yogyakarta.
Gempa bumi yang berpusat di 5,25 Lintang Utara (LU) dan 96,24 Bujur
Timur (BT), tepatnya di darat pada jarak 106 kilometer arah tenggara
Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 kilometer itu bukan berasal dari
aktivitas sesar subduksi tetapi sesar mendatar.
Aktivitas sesar
mendatar Samalanga-Sipopok Fault yang jalur sesarnya berarah barat
daya-timur laut, menurut dia, dampaknya bisa sama parah dengan sesar
yang bergerak naik-turun karena cukup dangkal kedalamannya.
Meski
demikian, aktivitas sesar mendatar di dalam laut tidak memicu tsunami,
berbeda dengan sesar yang bergerak naik-turun (subduksi).
"Mekanisme aktivitas sesar bisa mendatar atau naik-turun lebih karena dipengaruhi kondisi setting tektonik yang usianya bisa ratusan hingga jutaan tahun," ujar dia.
Pada sesar ini, menurut dia, tercatat dua kali gempa berkekuatan 7
SR. Meski demikian belum ditemukan catatan kerusakan yang ditimbulkan.
"Gempa ini jadi test case (uji kasus) juga untuk kesiapan early warning sistem (sistem peringatan dini) dan sistem manajemen bencana yang sudah ada. Apakah semua itu sudah berjalan baik?" ujar Widjo.
Pada dasarnya, ia menjelaskan, bukan gempa yang "membunuh" tapi
reruntuhan bangunan yang menimbulkan korban. Korban bencana semestinya
bisa ditekan hingga sesedikit mungkin jika peta detail mikrozonasi
daerah vital, pemukiman, dan daerah industri serta aturan standar
bangunan tahan gempa dan mitigasi bencana yang dipatuhi.
"Dari
sana standar bangunan tahan gempa harus ada di Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat. Jadi perlu ada audit soal manajemen dan
mitigasi bencana ini, apakah semuanya sudah dijalankan sesuai dengan
hasil rekomendasi peneliti dan ahli," ujar dia.
Selain itu,
Widjo juga menekankan pentingnya pembangunan kapasitas sumber daya
manusia dalam mendukung penerapan sistem mitigasi bencana yang baik.
Potensi gempa-tsunami
Di Balai Balai Teknologi
Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai, Widjo sempat menunjukkan
model simulasi gempa bumi dan tsunami berkekuatan 8 hingga 9 SR jika
terjadi di sebelah barat Selat Sunda yang selama ini disebut para ahli
dan peneliti sebagai seismic gap, karena belum ditemukan catatan
gempa di sana sehingga diperkirakan masih menyimpan kekuatan besar di
lokasi yang di sebut para ahli sebagai Megathrust South Sumatera.
Dampak
yang terlihat pada model gempa dan tsunami di komputer tersebut begitu
dahsyat bahkan, menurut Widjo, dengan kekuatan itu dampak gempa bisa
sampai Teluk Jakarta dan memicu gelombang tsunami tiga sampai empat
meter.
Ujung Kulon akan menjadi daerah pertama yang terdampak, begitu pula wilayah Lampung, Pulau Enggano dan pesisir Bengkulu.
"Jangan salah, gelombang datar setinggi satu meter yang kontinu
seperti tsunami itu kekuatannya luar biasa. Bisa dibayangkan jika
ketinggian gelombangnya sampai empat meter," ujar dia.
Potensi
gempa raksasa di zona subduksi Selat Sunda itu disimpulkan dari
keberadaan kosong gempa sepanjang 350-550 kilometer. Zona kosong gempa
seperti ini, menurut dia, tidak hanya satu di Indonesia dan sangat
mungkin menyimpan potensi gempa raksasa karena energi dari gesekan dua
lempeng bumi masih tersimpan.
Megathrust di zona subduksi tersebut antara lain Megathrust Andaman
Sumatra (sisi barat Aceh) Megathrust M1 Sumatra (sisi barat Aceh dan
Sumatra Utara), Megathrust M2 Sumatra (sisi barat Sumatra Barat dan
Bengkulu), Megathrust South Sumatra (sisi selatan dan barat Lampung dan
Banten), dan Megathrust Java (selatan Jawa).
Lalu ada Megathrust
Sumba (sisi selatan Bali dan NTB), Megathrust Timor (sisi selatan NTT
dan Timor Leste), Megathrust Banda Sea (melengkung setengah lingkaran di
sisi timur melingkupi Kepulauan Kei hingga Pulau Seram dan Pulau Buru),
Megathrust North Sulawesi (di sisi utara Sulawesi Tengah, Gorontalo dan
Sulawesi Utara) dan Megathrust Philippine (sisi timur Halmahera Utara
hingga ke Filipina).
Mitigasi
Sebagai negara yang dikenal dengan sebutan "supermarket bencana",
Indonesia perlu mempersiapkan mitigasi infrastruktur guna menghadapi
bencana besar, kata peneliti Geotek LIPI Danny Hilman Natawidjaja
senelumnya.
"Banyak aspek yang perlu diperhitungkan, tidak hanya jiwa tapi infrastruktur juga diperhitungkan untuk mitigasi bencana".
Sudah ada perhitungan mengenai siklus gempa besar di beberapa lokasi seismic gap
atau wilayah zona gempa yang sudah lama tidak mengalami gempa dan
menyimpan energi besar sehingga berpotensi menimbulkan gempa besar di
Indonesia.
Namun demikian gempa besar yang berpotensi terjadi di seismic gap
Selat Sunda dianggap yang paling berbahaya karena bisa berdampak fatal
mengingat populasinya sangat besar dan merupakan pusat pemerintahan, dan
pusat perekonomian di Jawa.
"Di Jakarta ada satu gedung yang simpan semua cyber data, kalau tiba-tiba ada bencana besar dan semua hilang, apa ada back up nya? Itu baru bicara soal cyber data, belum bicara soal mitigasi untuk manusia-nya," kata Danny.
Ia mengatakan bahwa perlu dipikirkan juga mitigasi infrastruktur untuk menghadapi bencana.
"Lihat Singapura dan Malaysia, mereka sudah menyimpan dengan baik cadangan cyber data di bawah tanah, jadi kalau ada gempa atau topan di atas mereka sudah punya cadangannya di bawah."
Ia
juga menjelaskan bahwa peneliti telah membuat peta jalur gempa, yang
meliputi informasi mengenai lokasi-lokasi rawan gempa yang bisa
digunakan untuk menyesuaikan bentuk dan kekuatan bangunan di tiap-tiap
lokasi.
Masalahnya peta jalur gempa Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat tersebut sangat sedikit yang "diterjemahkan" dalam
bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam.
"Saya pikir (peta
jalur gempa) sudah (dipahami) kalau di kalangan teknis. Tapi kalau harus
sampai ke masyarakat harus diubah bahasanya supaya mereka paham, tidak
bisa terlalu teknis," ujar Danny.
Persoalan lain yang menurut dia muncul saat membangun infrastruktur
mitigasi adalah desain yang tidak sesuai rekomendasi ahli untuk daerah
tersebut.
Padahal rekomendasi yang dikeluarkan sudah melalui penelitian panjang yang menghabiskan waktu dan biaya.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo
Purwo Nugroho mengatakan permasalahan bersama yang dihadapi saat ini
adalah pengabaian terhadap aspek risiko bencana.
"Perhatikan
benar zona merah rawan bencana, penataan ruang dan peta rawan bencana
serta regulasinya. Sosialisasi sudah banyak tapi implementasi tidak
dilakukan".
Berdasarkan peta bahaya seismik, daerah Pidie Jaya berada di sesar
aktif. Namun daerah itu sekarang menjadi zona pemukiman yang berkembang
pesat.
"Peta dasar seismic hazard (bahaya seismik) tadi
ya harusnya diikuti, jangan malah dibuka perizinan di sana. Tapi kalau
terlanjur pemukiman berdiri ya buat lah bangunan yang 'ramah' bencana".
Senada dengan Sutopo, Kepala Basarnas F Henry Bambang Soelistyo
mengatakan bahwa mitigasi mesti dijalankan sesuai dengan peta bahaya
seismik yang ada.
Pembangunan bangunan yang "ramah" bencana
tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, pemerintah
daerah mesti berperan mendorong dan mendukung warganya membangun rumah
yang tahan gempa.
"Soal mitigasi, kami siap melatih masyarakat dan melakukan tanggap
bencana meski itu butuh waktu tidak sebentar karena jumlah masyarakat
yang ada di daerah rawan terkena bencana besar sangat besar," ujar dia. (*)
Kekuatan Gempa Pidie Setara Empat Bom Hiroshima
Kamis, 8 Desember 2016 10:40 WIB