Jakarta (ANTARA News) - Allah telah membuka drama permainan impor di
negeri ini. Melalui seorang Irman Gusman yang notabene Ketua Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI, kita diperlihatkan betapa hebatnya sepak
terjang para pemburu rente.
Irman terjerat kasus dugaan suap pengurusan kuota impor gula yang
diberikan Bulog kepada CV SB tahun 2016 untuk Sumatera Barat. Ini
adalah ujungnya. Tapi ada yang paling dahsyat, yakni pangkalnya.
Kenapa Irman ujungnya? Sebab dia tidak memiliki kewenangan pada
izin impor. Yang terjadi sebenarnya, CV SB adalah distributor yang
ditunjuk Bulog. Nah, CV SB ingin mendapat jatah gula. Pemilik perusahaan
kebetulan kenal dengan Irman di mana ucapannya bak "Sabdo Pandito Ratu"
(perintah raja) yang bisa membisiki Bulog.
Namun, pada kesempatan ini Irman tumbang. Tapi, dia sekaligus
pahlawan. Sebab, dari Irman Gusman ini banyak terbuka skandal rente pada
industri gula di Tanah Air.
Setidaknya ada dua drama permainan impor. Pertama, selama ini ada
persepsi yang dibangun di masyarakat bahwa harga gula mahal. Tujuannya,
untuk menjadi pembenar agar impor dapat dilakukan.
Drama kedua, dibangun persepsi seolah-olah kebutuhan gula besar.
Data yang beredar, kebutuhan gula mencapai enam juta ton. Ini salah satu
drama yang dibangun pemburu rente. Padahal sesuai argumentasi logis,
kebutuhan gula sesungguhnya tidak sebesar itu. Kebutuhan gula di
Indonesia memiliki dua kepentingan, konsumen langsung dan industri
makanan-minuman.
Khusus untuk kebutuhan konsumen, taruh saja jika per orang 18
kilogram per tahun, maka tidak kurang 9 kilogram per kapita per tahun,
atau per bulan kebutuhan konsumen hanya 0,75 kilogram.
Kalau kita rutin mengkonsumsi gula 0,75 kilogram setiap bulan
dikalikan 9 kilogram, lalu dikali 250 juta jiwa, dan sebaliknya
kebutuhan industri dibuat sama 9 kilogram dikali 250 juta jiwa, totalnya
mencapai 4,6 juta ton.
Angka itu sudah menunjukkan total kebutuhan gula nasional.
Sayangnya yang dirilis dan dicatat mencapai enam juta ton. Di sini
pangkal persoalannya. Yang namanya izin impor kemudian menjadi
kebablasan dan disalahgunakan untuk berburu rente.
Padahal sudah aturan mainnya, termasuk siapa saja yang boleh
melakukan impor. Dalam peraturan pemerintah disebutkan, pihak yang boleh
mengimpor gula adalah perusahaan yang sudah ditunjuk menjadi importir
terdaftar. Di antaranya, importir produsen, importir umum, dan importir
otoritas atas keinginan menteri.
Dari bisnis impor inilah banyak terjadi kecurangan yang dilakukan
kartel atau mafia gula. Mereka cukup lihai memainkan perannya. Drama
pun dimulai. Gula kerap menjadi target manis para pemburu rente.
Mereka menyasar pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam
pemberian izin impor gula, yakni Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian
(Kemenperin), dan Kementerian Pertanian (Kementan).
Empat instansi itu memiliki posisi tawar dan kewenangan bagaimana
izin impor gula bisa keluar. Di situlah tetrdapat potensi korupsi dalam
skandal impor gula yang sangat besar. Tidak tanggung-tanggung, yakni
mencapai Rp4 triliun per tahun. Angka tersebut didapatkan dari kuota
impor gula oleh pemerintah.
Berdasarkan data dari Kemendag, impor gula pada 2015 tercatat sebesar 3,5 juta ton.
Lalu di mana logikanya? Dari temuan yang dapat dipercaya, ada
indikasi mafia impor telah membuka rekening di Singapura dengan nilai
hampir Rp65 miliar dari gula impor sebanyak 100 ribu ton.
Siapa saja yang mengimpor? Pihak yang melakukan impor adalah PT
Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan Bulog. Dari tiap 100 ribu ton
saja yang diimpor, oknum direksi terkait mendapatkan Rp65 miliar yang
berarti setara dengan Rp650 per kilogram.
Saya yakin seyakin-yakinnya, dibuat paling gampang, fee yang
dikantongi pengimpor rata-rata Rp1.000 per kilogram. Jika ijin impor
mencapai empat juta ton, di situlah tambang paling mudah bagi kartel
gula mendapatkan Rp4 triliun setiap tahun. Padahal mereka hanya bermodal
pena, jabatan, dan kewenangan. Miris sekali.
Yang lebih parah, di sini Bulog dan PPI malah ditugaskan
melakukan impor, tentu dengan dalih ingin membantu rakyat agar harga
gula terjangkau. Lebih aneh lagi, Bulog dan PPI tidak punya pengolahan,
tapi mereka tetap melakukan impor "raw sugar" (gula mentah).
Raw sugar impor digiling di perusahaan yang dikenal dengan
"Sebelas Naga". Mereka mempunyai pabrik gula rafinasi atau gula kristal
putih yang kapasitas terpasangnya mencapai 5 juta ton setiap tahun dan
sudah mengimpor rutin setiap tahun, tidak kurang dari 3,5 juta ton.
Gula mentah impor yang didapatkan Bulog dan PPI ini juga
digilingkan ke pabrik gula swasta. Awalnya keberadaan pabrik gula baru
itu bertujuan mulia, membantu para petani dalam penggilingan tanaman
tebu. Belakangan diketahui, pabrik gula baru tersebut hanya dijadikan
kedok untuk melakukan impor gula mentah.
Tahun 2015, pabrik-pabrik gula baru tersebut telah mengajukan ijin
impor gula hampir 1 juta ton. Nah, gula impor Bulog dan PPI dikirim ke
pabrik gula abal-abal tersebut.
Kalau memang mereka mempunyai kepentingan membantu rakyat,
seharusnya ada aturan mainnya. Bulog bisa mengimpor "white sugar" (gula
putih) dan langsung diberikan ke masyarakat, sehingga tidak harus
berputar-putar seperti ini.
Ada apa dengan Bulog dan PPI?
Saya melihat di balik semua ini ada perburuan rente. Berapa
keuntungan Bulog dan PPI atau swasta setelah mendapatkan izin impor
tersebut?
Harga gula internasional untuk raw sugar paling mahal 500 dolar
per ton. Artinya, setelah diolah menjadi gula dengan cara saiun
(sesuatu) tadi, gula yang sudah jadi seharusnya dijual ke konsumen
dengan harga Rp 11.000 per kilogram.
Sebaliknya, Bulog dan PPI menjual ke konsumen seharga Rp 12.500
per kilogram. Artinya ada keuntungan Rp 1.500. Jika impor per Rp100 ribu
ton, maka keuntungan bisa Rp 100 miliar.
Presiden Jokowi sebenarnya punya tujuan mulia dengan melakukan
impor, yakni melindungi konsumen. Tapi yang perlu diingat, petani juga
konsumen dan produsen. Kalau konsumen harus dilindungi, maka jangan ada
kebijakan yang mematikan sumber pangan Indonesia, dalam hal ini petani.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, benarkah pemerintah melindungi konsumen atau sekadar berburu keuntungan impor?
Sebut saja pemerintah melakukan impor 4 juta ton. Di balik itu
ada keuntungan Rp1.000 per kilogram, maka sudah dapat dipastikan
keuntungannya Rp4 triliun. Kalau mau peduli dengan nasib petani,
keuntungan Rp4 triliun itu dapat disisihkan atau dikembalikan kepada
para petani, baik untuk mensubsidi harga gula atau paling tidak uangnya
digunakan untuk mendirikan pabrik gula baru.
Persoalannya, di sini kesannya konsumen dibantu, namun petani
"dibantai". Ini salah kaprah. Seringkali pemimpin mengatakan petani kita
tidak punya daya saing, pabriknya sudah tua, tutup saja. Tapi mereka
tidak pernah bertanya bagaimana nasib petani.
Saat ini petani tebu juga menghadapi anomali iklim basah
berkepanjangan. Rendemen atau kualitas tebu ditentukan oleh kemasakan
tebu secara optimal. Karena iklim yang basah, akibatnya rendemen kita
rendah. Karena rendah, pabriknya juga tidak bisa menggiling secara
optimal dan menghasilkan gula yang bagus dan banyak.
Masalah lain yang dihadapi petani adalah banyaknya irigasi
pengairan yang rusak. Ketika petani butuh kredit, kredit dimaksud tidak
bisa didapat dengan mudah. Sementara kita dituntut punya daya saing.
Lalu siapa yang melumpuhkan daya saing petani? Saya tidak mengatakan
pemerintah yang bersalah. Tapi ini tugas pemerintah, bagaimana caranya
menjadikan petani punya daya saing.
Terakhir, kita kalkulasi berapa biaya produksi harga gula dunia
yang dihasilkan produsen besar, yakni rata-rata hanya berkisar 0,50
dolar per kilogram. Artinya tidak kurang dari Rp6.000 per kilogram.
Apakah kita mampu berproduksi seperti itu? Sangat bisa. Asalkan
produktivitas tanaman tebu mencapai 100 ton, dengan rendemen 10-12
persen.
Selain itu, di sini kita dihadapkan pada indikasi pembiaran
terhadap "bagaimana kita bisa swasembada pangan dan berdaya saing..
Karena itu kami ingin aparat penegak hukum, jaksa, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kepolisian bersinergi untuk mengungkap
pangkal masalah ini.
Perburuan rente dimulai dari mana? Mudah saja. Sekarang Bulog dan
PPI sudah jelas aturannya, bahwa yang diperbolehkan mengimpor raw sugar
adalah importir produsen. Nah, Bulog dan PPI ini bukan importir
produsen.
Tapi, mengapa mereka bisa mendapatkan "raw sugar" dengan jumlah
besar hingga ratusan ribu ton dan mengapa mereka bisa mendapatkan izin
impor? Artinya, izin impor mendapat persetujuan dari otoritas
kementerian yang punya kewenangan besar.
Maka, seharusnya aparat penegak hukum memeriksa Bulog, PPI dan
izin impor yang diberikan pada pabrik-pabrik gula yang melakukan impor
gula mentah. Mulai dari bagaimana proses izinnya maupun rekomendasinya.
Pasalnya, akibat perburuan rente tersebut, tidak sedikit petani
tebu mendapat ancaman, intimidasi, pembunuhan karakter, dan cerita yang
dibolak-balik.
Yang dilakukan para rente ini sudah melewati batas kewajaran.
Mereka sudah melibatkan banyak pihak dan menjadikan impor gula sebagai
sumber kepentingan-kepentingan politik tertentu untuk biaya politik yang
tidak murah.
*Penulis, Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)
Ada Drama Permainan Rente Impor Gula
Jumat, 7 Oktober 2016 10:44 WIB