Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat dibuat heboh oleh sebuah berita tidak
benar di sebuah portal yang menyebutkan harga rokok akan naik rata-rata
menjadi Rp50 ribu per bungkus, yang beredar secara viral di media
sosial.
Kehebohan serta pro dan kontra di masyarakat semakin meningkat
karena pada layanan pesan instan dan media sosial sudah beredar
harga-harga "baru" sejumlah merek rokok.
Kegaduhan terus bergulir karena media massa ikut "termakan" berita hoax tersebut. Berita hoax dari portal "abal-abal" pun akhirnya menjadi pemberitaan media massa dan menjadi wacana yang beredar di masyarakat.
Wacana tersebut berawal dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan
Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
yang meneliti hingga harga berapa seorang perokok akan berpikir untuk
berhenti merokok.
Penelitian itu sebenarnya bukan hal baru. Sudah lama para pendukung
pengendalian tembakau, yang salah satu tujuannya adalah aksesi Konvensi
Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), menyuarakan tentang harga
rokok di Indonesia yang sangat murah bila dibandingkan dengan
negara-negara lain.
Penelitian yang dipimpin Prof Hasbullah Thabrany itu sudah berulang
kali disuarakan oleh kelompok pendukung pengendalian tembakau dan
diberitakan oleh media massa, tetapi selama ini tidak pernah sampai
menimbulkan "kegaduhan" di masyarakat.
Terlepas siapa yang berkepentingan dengan wacana kenaikan harga
rokok itu, harga rokok di Indonesia yang masih sangat murah adalah
sebuah fakta. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rumah
tangga termiskin di Indonesia membelanjakan uangnya yang pertama untuk
beras dan kedua untuk rokok.
Fakta itu tentu membuat miris karena asupan kalori dan gizi, bahkan
pendidikan, anak-anak rumah tangga termiskin Indonesia harus dikalahkan
oleh rokok karena orang tuanya sudah kecanduan.
Seharusnya, uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok bisa
digunakan untuk meningkatkan gizi dan pendidikan anak sehingga generasi
selanjutnya bisa lepas dari jerat kemiskinan.
Belum lagi akses anak-anak yang mudah terhadap rokok. Sudah
harganya sangat murah, penjualannya pun tidak diatur ketat sehingga
sangat mudah bagi anak-anak untuk membeli rokok. Di dunia internasional,
Indonesia sudah dikenal sebagai negara dengan bayi perokok atau baby smoker country.
Melihat fakta-fakta tersebut, banyak pihak yang mendukung kenaikan
harga rokok minimal Rp50 ribu per bungkus. Wacana yang bermula dari
berita hoax berhasil menjadi perhatian banyak pihak untuk didorong menjadi kenyataan.
Belum Ditetapkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah belum
menetapkan harga jual maupun tarif cukai rokok, apalagi minimal Rp50
ribu/bungkus sebagaimana beredar dan menjadi perbincangan masyarakat.
"Sampai saat ini Kementerian Keuangan belum ada aturan terbaru
mengenai harga jual eceran maupun tarif cukai rokok," katanya.
Sri Mulyani mengatakan akan menetapkan harga jual eceran maupun
tarif cukai sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai. Penetapan itu akan dimasukkan ke dalam Rancangan APBN 2017.
"Sampai saat ini kami masih dalam proses konsultasi dengan berbagai
pihak. Keputusan mengenai harga baru cukai dan harga jual rokok akan
diputuskan sebelum pembahasan APBN 2017 dimulai," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Heru Pambudi mengatakan pembahasan tentang harga jual dan tarif cukai
rokok akan melibatkan banyak pihak.
Biasanya, harga baru rokok dilakukan setiap 1 Januari dengan
pengumuman harga baru tiga bulan sebelumnya. Karena itu, Heru berharap
keputusan mengenai harga baru sudah ada pada akhir September.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI)
Ismanu Soemiran berharap pemerintah mempertimbangkan seluruh aspek
secara komprehensif dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan
harga dan cukai rokok.
"Pemerintah perlu memperhatikan aspek seluruh mata rantai industri
tembakau nasional mulai dari petani, pekerja di industri rokok, pedagang
dan konsumen," katanya.
Menurut Ismanu, mata rantai sirkulasi perekonomian industri hasil
tembakau melibatkan banyak elemen masyarakat. Dia mengklaim industri
berbasis pertanian itu memberikan kontribusi kurang lebih Rp170 triliun
melalui cukai dan pajak.
Tanggapan DPR
Wacana kenaikan harga rokok minimal Rp50 ribu juga mendapat
tanggapan dari legislatif. Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan kenaikan
tarif cukai dan harga rokok akan membantu APBN karena berpotensi
meningkatkan penerimaan negara.
"Kalau harga dinaikkan, penerimaan negara dari sektor cukai akan
meningkat. Itu artinya menolong APBN lebih sehat di masa mendatang,"
katanya.
Selain sisi penerimaan negara, politisi Partai Golkar itu juga
meyakini kenaikan harga rokok dapat mengurangi perilaku masyarakat yang
konsumtif terhadap rokok. Kenaikan harga juga dapat mengurangi jumlah
perokok.
"Saya meyakini hal itu tidak akan mengganggu petani tembakau. Mereka dapat bekerja seperti sedia kala," ujarnya.
Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay berharap masyarakat dapat
memaknai wacana kenaikan tarif cukai dan harga rokok secara positif
karena menyangkut kesadaran tentang bahaya rokok bagi kesehatan.
"Secara pribadi, saya setuju harga rokok dinaikkan. Wacana
pemerintah menaikkan tarif cukai dan harga rokok perlu diapresiasi.
Setidaknya ada keinginan politik pemerintah untuk mengurangi jumlah
perokok di Indonesia," kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Anggota Komisi IX yang lain, Okky Asokawati, mengatakan peningkatan
harga rokok secara signifikan dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia bila benar-benar diterapkan pada masa depan.
"Apalagi pada era globalisasi, kualitas sumber daya manusia penting
untuk bersaing dengan negara-negara lain," kata politisi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Okky mengatakan sumber daya manusia Indonesia dapat meningkat bila
harga rokok dinaikkan karena masyarakat akan berpikir ulang untuk
membeli rokok yang mahal. Uang yang sebelumnya digunakan untuk membeli
rokok, dapat dialokasikan untuk memenuhi gizi anak.
Selain itu, kenaikan harga rokok juga akan menambah pendapatan
negara dari cukai sehingga anggaran untuk kesejahteraan rakyat, termasuk
buruh dan petani tembakau, dapat ditambah.
Namun anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad
Misbakhun mengatakan kenaikan harga rokok akan berdampak negatif tidak
hanya terhadap industri rokok tetapi juga petani tembakau.
Dukungan Masyarakat
Secara umum, masyarakat mendukung wacana kenaikan harga rokok
tersebut. Hal itu terlihat dari beberapa survei yang dilakukan secara
daring oleh media-media massa.
Salah satu elemen masyarakat yang mendukung kenaikan harga rokok
adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meskipun pada akhirnya
memunculkan tudingan bahwa lembaga tersebut tidak peduli kepada
konsumen, terutama konsumen rokok.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan pihaknya justru
peduli terhadap perlindungan konsumen rokok sehingga pihaknya mendukung
wacana kenaikan harga rokok sebagai instrument untuk melindungi
masyarakat.
"Kalangan pro-tembakau menuding YLKI sebagai lembaga yang tidak
peduli pada konsumen rokok. Padahal YLKI justru menaruh perhatian pada
konsumen rokok, bahkan calon perokok," katanya.
Tulus mengatakan bentuk perlindungan YLKI terhadap konsumen rokok
dan calon perokok tidak bisa disamakan dengan barang lain seperti pada
makanan, minuman, obat-obatan dan sektor jasa.
Pasalnya, rokok merupakan barang yang tidak normal. Hal itu
terbukti dengan pengenaan cukai yang merupakan "pajak dosa", berbeda
dengan makanan, minuman dan jasa yang merupakan barang normal sehingga
hanya dikenai pajak biasa.
"Mengapa rokok dikenai cukai sebagai pajak dosa? Karena rokok
menimbulkan dampak negatif bagi konsumen, masyarakat sebagai perokok
pasif bahkan lingkungan. YLKI peduli agar konsumen rokok tidak semakin
terperosok dampak negatif rokok," tuturnya. (*)
"Hoax" Harga Rokok Diharapkan Jadi Nyata
Senin, 29 Agustus 2016 16:02 WIB