Malang (ANTARA News) - Perawakan dan penampilannya begitu biasa dan
sederhana, sikapnya bersahaja. Namun di balik kesederhanaan dan
kebersahajaan itu, ada ketegasan luar biasa yang membuat decak kagum dan
simpati, khususnya warga yang mengurus SIM di Polres Kota Malang.
Pribadi sederhana dan bersahaja itu, tak lain adalah Brigadir
Kepala (Bripka) Seladi, seorang abdi negara yang bertugas di Satuan Lalu
Lintas (Satlantas) Polres Kota Malang. Dengan sabar dan penuh
keikhlasan Bripka Seladi mengajari dan menuntun setiap pemohon SIM agar
bisa lulus dalam tes praktik menggunakan kendaraan.
Iming-iming "amplop" sebagai tanda terima kasih dari para pemohon
yang lulus tes dan mendapatkan SIM atas bimbingannya pun dengan halus ia
tolak. Jangankan materi, hanya sekedar ditraktir ngopi pun, Bripka
Seladi menolaknya dengan alasan sedang bertugas. Ia tidak ingin
pemberian seseorang (pemohon SIM) itu dikait-kaitkan dengan SIM.
Padahal kalau mau, Bripka Seladi bisa saja memanfaatkannya dan
"menodong" pemohon serupiah demi serupiah untuk kepentingan dan menambah
pundi-pundi kantongnya. Namun, itu tak dilakukannya. Sikapnya yang
tulus dan ikhlas itu justru membuat respek masyarakat, tidak hanya para
pemohon SIM, tetapi juga masyarakat luas.
Tidak sedikit para pemohon SIM yang telah lulus atas bimbingannya
itu berniat memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih. Godaan
limpahan materi dari pemohon SIM dan penolakan yang dilakukannya dengan
alasan sedang bertugas itu dilakoninya sudah 16 tahun, namun Bripka
Seladi tetap pada sikapnya, karena ia berprinsip itu adalah tugas dan
kewajibannya sebagai abdi negara.
"Saya mengajari mereka murni agar mereka bisa dan lolos mendapatkan
SIM. Bukan untuk saya bisa mendapatkan untung. Kasihan karena mereka
sangat membutuhkan SIM itu," kata Seladi.
Tidak hanya kejujuran, ketulusan dan kebersahajaan dalam hidupnya,
yang membuat Bripka Seladi menjadi buah bibir di antara rekan-rekan
seprofesinya di lingkungan Polres Malang dan di kalangan pemohon SIM
maupun warga di sekitar tempat tinggalnya, tapi profesi sampingan sang
Bripka itu pula yang membuatnya terkenal bak "selebretis" karena dalam
beberapa hari terakhir ini banyak menerima wawancara dari berbagai
media, baik cetak, televisi maupun online.
Bekerja dan mengabdi di Satlantas Polres yang dianggap sebagain
orang sebagai "lahan basah" tidak menjadikan Seladi gelap mata. Ia tetap
bekerja dengan jujur meski kondisi ekonominya sebagai seorang polisi
bisa dibilang masih belum mapan, bahkan kembang-kempis untuk membiayai
hidup istri dan ketiga anaknya, serta membayar angsuran bank.
Seladi tetap saja tak tergoda dan tetap taat aturan. Ia tidak
menggunakan kesempatan itu untuk meminta uang kepada pemohon SIM, meski
dirinya masih terbelit utang di bank untuk modal usaha yang nilainya
mencapai ratusan juta rupiah.
Dengan modal pinjaman dari bank yang sampai saat ini masih harus
diangsur itu, Seladi membuka usaha penjualan bensin eceran, namun usaha
yang dirintis itu gagal karena terbakar. Tetapi Seladi tidak menyerah,
berbagai jenis usaha dilakoninya untuk menutup kebutuhan sehari-hari,
namun usaha itupun juga gagal.
"Mungkin saja usaha yang berkali-kali saya rintis dengan modal
pinjaman dari bank itu bukan rezeki saya dan mungkin saya diingatkan
oleh Tuhan bahwa rezeki di jalur itu bukan hak saya. Ya ini, sekarang
rezeki saya dari sampah. Meski kelihatannya buruk, rezeki dari sini
halal dan sama sekali tidak merugikan orang lain," urainya.
Hal itulah yang meneguhkan Seladi untuk tetap bekerja jujur.
Baginya, uang halal saja bisa dengan mudah hilang, apalagi yang haram.
Mungkin dalam sekejap mata bisa saja sirna. "Yang terpenting bagi saya
adalah niat. Kalau niatnya baik, apapun godaannya, kita pasti bisa
melewatinya," ungkapnya.
Dan, yang terpenting menurut Seladi, sekarang warga Malang sudah
banyak yang tahu dan paham, tidak perlu menyuap untuk bisa mendapatkan
SIM. Asalkan mereka mampu, pasti bisa. "Hal-hal kecil itulah yang selalu
saya pegang teguh agar anak-anak saya kelak juga tidak tergoda dengan
hal-hal yang merugikan orang lain," katanya.
Seladi masuk polisi tahun 1977. Pertama kali bertugas berpangkat
bhayangkara dua (barada) di Kepolisian Resor Malang Kota. Seladi kini
berpangkat bripka dan setahun lagi memasuki pensiun di usia 58 tahun.
Pemulung Sampah
Meski profesinya sebagai seorang polisi dan ditempatkan di lahan
basah, tak membuat Bripka Seladi berdiam diri dan memanfaatkan profesi
serta tempat tugasnya yang basah. Seladi justru mencari tambahan di luar
jam dinasnya dan mengais rezeki sebagai seorang pemulung sampah.
"Walaupun mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pemulung, setiap hari
saya tetap menjalankan tugas sebagai polisi dengan melayani masyarakat.
Menjadi pemulung saya lakukan di luar jam dinas (tugas)," ucapnya.
Ditanya alasannya memilih menjadi pemulung dibanding pekerjaan
lainnya, polisi kelahiran 21 Februari itu mengaku pemulung bukanlah
pekerjaan yang merugikan orang lain, bahkan Seladi mengaku tak merasa
malu jika harus mengumpulkan sampah dari masyarakat. "Saya memilah
barang yang sudah dibuang orang sehingga tidak akan merugikan orang
lain," tuturnya.
Memilih pekerjaan sampingan sebagai pemulung dilakoni bapak tiga
anak tersebut sejak tahun 2004 silam. Dari hasil memilah sampah, Bripka
Seladi bisa mendapatkan penghasilan antara Rp50 ribu hingga Rp75 ribu.
"Semakin kita bekerja keras mengumpulkan dan memilah sampah, semakin
banyak uang yang dihasilkan, yang penting halal. Bagi saya, uang tidak
halal tidak akan membawa berkah," kata pria yang menjadi polisi sejak
1977 ini.
Awalnya, Seladi hanya memulung sampah di kawasan Polres Malang
Kota. Namun, saat mulai ada orang lain mengambil sampah di sana, Seladi
bergeser ke tempat lain. Ia terus memulung ke sejumlah lokasi di Kota
Malang. Akhirnya, ia fokus memulung sampah kereta di Stasiun Kotabaru
Malang. Ia menganggap rezeki itu sudah sangat berlimpah, itu pun sudah
kewalahan menanganinya. Padahal, ia telah dibantu oleh anak dan dua
pekerjanya.
Keterlibatan anak dan keluarganya, bukan karena ingin mempekerjakan
anak, tetapi bertujuan untuk mendidik anaknya mengenai makna kerja
keras dan nilai kejujuran. "Saya mengajari anak saya untuk mau bekerja
keras agar mendapatkan uang. Kerja itu berat. Mencari rezeki tidak
gampang. Makanya, saya ajari anak bekerja keras seperti ini. Ini rezeki
berlimpah, tetapi banyak orang enggan menyentuhnya," ucapnya.
Untuk memilah sampah yang sudah dikumpulkannya bersama anak dan
istrinya, Seladi tidak perlu jauh-jauh, karena lokasi "gudang"-nya itu
tidak jauh dari kantor SIM , sekitar 200 meter. Rumah kosong itu milik
kenalan Seladi yang diperbolehkan sebagai tempat penampungan sampah.
Semua sampah ini dari stasiun yang berasal dari setiap kereta yang
berhenti di Stasiun Kotabaru Malang. Beberapa dari sampah ini masih ada
yang bisa dijual, seperti plastik, kertas, atau kemasan makanan. "Banyak
orang beranggapan sampah ini tidak ada gunanya, tetapi bagi saya ini
adalah rezeki luar biasa yang diberikan Tuhan," ucapnya.
Pekerjaan sampingan Seladi sebagai seorang pemulung tidak membuat
anak-anak maupun istrinya malu. Bahkan, dari pekerjaan sampingan, selain
sebagai seorang polisi tersebut, Seladi mampu menyekolahkan
anak-anaknya. Anak pertamanya saat ini sudah bekerja di RSI Unisma
Malang. Anak keduanya, Rizal Dimas Wicaksono (20), lulus D-2 Teknik
Informatika Universitas Negeri Malang dan anak ketiganya masih duduk di
bangku kelas II SMA.
Anak kedua Seladi, Dimas juga berkeinginan untuk menggantikan
profesi ayaknya sebagai seorang polisi dan saat ini sedang berjuang
untuk bisa masuk menjadi polisi. "Sebagai seorang polisi mungkin saya
tidak banyak uang, tetapi saya sudah cukup bahagia dengan keberadaan
anak-anak dan istri saya yang mau menerima apa adanya. Kejujuran tetap
harus kami pegang teguh, itu juga yang membuat kami bahagia," ujarnya. (*)
Bripka Seladi, Polisi Pemulung Tak Silau Suap
Rabu, 25 Mei 2016 11:49 WIB